Luar angkasa dengan segala misterinya memang tak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Begitu dalam dan luasnya semesta raya ini, menjadi sebab mengapa kemudian banyak orang berlomba-lomba menciptakan narasi baru tentang berbagai kemungkinan yang terjadi antara bumi, semesta raya dan manusia sebagai pusat dari segala konfliknya.

Setidaknya itulah yang ingin disampaikan oleh sutradara sekaligus penulis, James Gray (The Lost City of Z, We Own the Night), dalam memberikan visualisasi atas apa yang menjadi visinya tentang luar angkasa selama ini.

Ad Astra yang merupakan bahasa latin dari “menuju bintang-bintang” dan biasa disebut dalam frasa Per Aspera Ad Astra yang berarti menuju bintang-bintang dengan susah payah, seakan menjelaskan sedikit banyak mengenai bagaimana jalan cerita film ini kelak. Meskipun arti pada judulnya sendiri kemudian tenggelam dalam berbagai filosofi kehidupan yang ditamamkan kepada tokoh utamanya.

Loading...

Eksplorasi luar angkasa yang begitu mudah dan bebasnya pada akhirnya memang dimaksudkan James Gray untuk dipahami sebagai fakta yang segera terjadi, bukan fantasi. Termasuk bagaimana James Gray kemudian memberikan gambaran koloni manusia di bulan yang tak jauh beda dengan keseharian mereka di bumi. Yaitu tetap serakah akan sumber daya dan self-centered tentunya.

Namun luasnya luar angkasa dan ragam misteri besarnya yang terus ‘menghantui’ pikiran kita, kemudian menjadi semacam metafora lewat sosok astronot yang bisa dibilang sedang dalam perjalanan spiritualnya, yang juga mencari jawaban akan misteri terbesarnya selama ini.

Dia lah Roy McBride (Brad Pitt), anak dari astronot legendaris Clifford McBride (Tommy Lee Jones), yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam film ini. Dalam sebuah garis waktu yang tak jauh di masa depan, dimana perjalanan ke bulan nampak sangat biasa layaknya layanan penerbangan untuk publik, Roy kemudian ditugaskan oleh organisasi SpaceCom untuk mencari sang ayah yang menghilang dalam misi The Lima Project di sekitar Planet Neptunus puluhan tahun silam.

Sentakan gelombang energi yang kerap terjadi dan dikhawatirkan akan mampu menghancurkan bumi itu pun kemudian dipercaya SpaceCom muncul dari Project Lima. Roy pun kemudian diterbangkan ke Mars melalui Bulan dalam sebuah misi rahasia. Dimana hal ini dimaksudkan agar Roy dapat menghubungi sang ayah dan menemukan keberadaannya.

Sebuah pesan dari rekan masa muda sang ayah, Thomas Pruitt (Donald Sutherland), dan anak dari salah satu korban Lima Project di masa lalu, Helen (Ruth Negga) pada saat Roy berada di koloni Mars, pada akhirnya semakin memantapkan hati Roy untuk mencari sang ayah.

Meskipun kemudian Roy tidak menyadari bahwa dirinya sedang dihadapkan pada sebuah konspirasi besar yang membahayakan nyawa sang ayah.

Tentang Roy McBride yang adalah Kita

Sumber: 20th Century Fox

Roy McBride dengan tujuan perjalanannya menemukan sang ayah, sejatinya juga menggambarkan kita dalam setiap perjalanan kehidupan yang kita pilih. Entah dalam perjalanan mencari kesuksesan, kesempurnaan bahkan mungkin pencarian akan sosok Tuhan itu sendiri yang nampaknya juga menjadi salah satu pesan yang ingin disampaikan disini.

Roy dalam pencarian sang ayah dan teka-teki yang menyelimutinya kala harus meninggalkan Roy dalam sebuah misi puluhan tahun silam, seakan menjadi filosofi akan sosok manusia yang rela berpetualang menembus ruang diluar batas mereka demi mencari jawaban akan pertanyaan tentang eksistensi Tuhan dan esksistensi manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup yang hidup di tata surya. Sebuah pandangan yang normal adanya jika dilihat dari sisi science tentunya.

Namun diluar filosofi tersebut, sosok McBride juga merupakan gambaran manusia saat ini yang justru lebih fokus pada pencarian sesuatu yang belum tentu ada namun justru mengabaikan segala sesuatu yang jelas ada di sekitarnya, termasuk cinta.

Meskipun pada pengertian lain, sebuah perjalanan yang nampak sulit, mustahil dan cenderung mengorbankan banyak pihak di sekitar juga akan sangat berarti kala kita pada akhirnya mencapai tempat yang hendak kita tuju. Kesabaran menjadi kunci akan hal tersebut.

McBride yang tampil ‘grounded’, membuat kita percaya bahwa sosoknya benar-benar relevan dan sesuai dengan beberapa diantara kita yang mungkin juga ada dalam tahapan yang sama dengan McBride, perihal pencarian jawaban akan alam semesta ini, juga tentang diri sendiri.

Sebuah Sci-Fi dengan Detail yang Menggugah

Roy McBride di Planet Mars.
Sumber: 20th Century Fox

Kita tahu bahwa setiap film sci-fi tentang eksplorasi luar angkasa pasti memiliki ciri khasnya sendiri yang membedakan antara 1 film dengan lainnya. Itulah sebabnya, meskipun  2001: A Space Odyssey, Interstellar, Gravity, The Martian, hingga First Man sama-sama membawa tema eksplorasi angkasa luar, mereka adalah film yang membawa narasi berbeda dengan detail yang berbeda pula.

Di sini, sinematografer Hoyte van Hoytema (Interstellar, Dunkirk) menyajikan perwainan palet warna yang tidak biasa sehingga membuatnya tampil futuristik juga artistik di satu sisi.

Dari hitam putihnya landscape bulan, hingga ruangan berwarna merah kala ada di planet Mars, tentu menyajikan pengalaman sinematik yang unik dan berbeda dengan film sci-fi lainnya mengenai eskplorasi luar angkasa.

Ruangan All Red di Planet Mars
Sumber: 20th Century Fox

Bahkan untuk product placement yang begitu banyak semisal Yoshinoya, Virgin Atlantic dan Dunkin Donuts pada sebuah penggambaran mall di bulan, juga ditampilkan pada porsi yang sesuai. Peletakannya tidak terkesan mengada-ada dan justru tampil realistis dengan suasana koloni bulan yang memang nampak menjadi proyek ambisius manusia di masa mendatang.

Untuk CGI tentu saja tak usah ditanya. Baik penggambaran landscape planet, kehampaan luar angkasa, hingga cincin Neptunus yang begitu indah sekaligus misterius, mampu ditranslasikan ke dalam visual yang megah dan luar biasa.

Visualnya begitu memanjakan mata dan nampak begitu akurat dan detail untuk penggambaran kokpit pesawat luar angkasanya. Canggih, namun tak terkesan terlalu futuristik berkat penggambaran teknologi yang masih dekat dengan era kita sekarang.

Sementara komposisi scoring garapan Max Richter juga tak kalah baik mendukung suasana angkasa luar yang penuh misteri. Apalagi kemudian hal tersebut dikombinasikan dengan berbagai sound effect yang juga tak kalah brilian.

Sehingga baik suasana dalam stasiun angkasa luar, di dalam atau di luar pesawat eksplorasi ataupun kala  berada di suatu koloni planet misalnya, mampu ikut membawa kita masuk ke dalam suasana tersebut.

Hanya saja, scoring dalam film ini terasa tak begitu memorable seperti yang dihadirkan First Man dengan komposisi musik dari alat musik Theremin-nya. Bagi saya, musik dalam First Man sejauh ini adalah yang mampu mendekati suasana angkasa luar yang penuh misteri karena nuansa yang dihadirkan begitu kelam, menakutkan, namun di satu sisi juga menenangkan.

Jika First Man kemudian membuat kita percaya bahwa Gosling adalah Neil Armstrong dengan segala mental illness nya. Atau Sandra Bullock dalam Gravity yang membuat kita ikut larut dalam kesakitan dan kesendirian di luar angkasa yang gelap dan luas tersebut.

Maka Ad Astra membuat kita percaya akan sosok Roy McBride yang rapuh, kesepian namun ambisius dalam mengeksplorasi ruang gelap yang tak pernah dicapainya sebelumnya.

Ad Astra biar bagaimanapun telah berhasil mengeluarkan performa terbaik Brad Pitt di sepanjang karirnya. Dan tanpa Brad Pitt, mustahil Ad Astra akan mampu berjalan seperti ini.

Karena faktanya 80% durasi film ini memang digunakan untuk mengeksplorasi kegundahan hati Roy McBride dengan segala pertanyaan besar dalam kehidupannya. Dengan kemudian naik turunnya sisi emosional dimainkannya pada tiap konflik yang terjadi baik fisik maupun batin.

Brad Pitt jelas menjadi semacam jangkar yang membuat kapal bernama Ad Astra tetap menarik untuk ditonton walaupun konflik utamanya memang cenderung berjalan datar.

Dan tentunya semakin meyakinkan kita bahwa Brad Pitt pantas mendapatkan lebih di ajang Oscar 2020 kelak setelah penampilan apiknya juga di film sebelumnya yang rilis di tahun ini, Once Upon a Time in Hollywood. 2 film berbeda yang tentunya menunjukkan range yang begitu luas terkait kemampuan aktingnya.

Sumber: 20th Century Fox

Sementara Tommy Lee Jones, Donald Shuterland, Liv Tyler dan Ruth Negga yang hanga mendapatkan screen time sedikit, tetap mampu memberikan penampilan memukau sesuai dengan porsinya. Sehingga tiap adegan, dialog bahkan konflik yang saling bersinggungan tak pernah terasa hambar atau terasa disia-siakan.

Semuanya cukup padat dan menjadi suplemen yang apik untuk mendukung perjalanan Brad Pitt menuju angkasa luar yang luas dan tak terbatas itu.

Penutup

Sumber: 20th Century Fox

Ad Astra jelas bukanlah film sci-fi yang ditujukan bagi anda yang mencari sajian visual penuh aksi. Ad Astra, meskipun kemudian memasukkan unsur car chase di bulan, thriller gore seperti saat berada di kapal yang bermuatan hewan penelitian, atau sedikit horor pada sebuah visualisasi kehampaan angkasa luar, pada akhirnya tetaplah sebuah drama ber-pace lambat yang cenderung mengeskplorasi sisi batin sang pemeran utama.

Meskipun tak serumit Interstellar, namun 2 jam penayangannya mungkin akan terasa membosankan bagi sebagian orang. Meskipun bagi para penggemar sci-fi, hal ini tentu saja cukup memuaskan karena pengalaman sinematiknya begitu menggugah.

Selamat menikmati eksplorasi luar angkasa tanpa batas dalam Ad Astra. Saran saya, tontonlah di studio bioskop yang memiliki layar besar semisal di IMAX XXI atau Starium CGV. Atau minimal studio bioskop dengan instalasi sound dolby atmos didalamnya, agar bisa merasakan pengalaman sinematik yang maksimal.

Note: Gulir / scroll ke bawah untuk melihat rating penilaianfilm

Loading...

Review Ad Astra (2019) - Pengalaman Sinematik yang Epik dan Emosional dalam Latar Eksplorasi Luar Angkasa
8Overall Score
Reader Rating 2 Votes
8.9