Aceh dengan bencana Tsunami-nya yang maha dahsyat di tahun 2004 silam, memang menyita atensi publik yang cukup besar di seluruh dunia hingga saat ini. Bantuan dan penelitian pun datang silih berganti selama bertahun-tahun kemudian sejak si ombak besar nan mematikan tersebut menyerang Banda Aceh dan sekitarnya.

Adalah The Man From The Sea garapan sutradara Jepang Koji Fukada, yang kemudian menjadikan Tsunami Aceh sebagai latar ceritanya. Koji yang di tahun 2011 silam sempat mengunjungi Aceh, kemudian tertarik untuk lebih mendalami Aceh sebagai bentuk kepekaan terhadap sesama daerah terdampak tsunami. Bintang Jepang dan Indonesia pun kemudian dipilih untuk berkolaborasi dalam film ini yang sekaligus menandai 60 tahun kerjasama Indonesia dan Jepang.

Loading...

Koji Fukada yang sebelumnya memenangkan penghargaan Un Certain Regards Jury Prize di festival film Cannes 2016 lalu lewat filmnya yang berjudul Harmonium, tidak hanya mencoba untuk memperkenalkan dua kebudayaan berbeda dalam film ini, namun juga bermain-main dengan imajinasi surealis yang menyatu dengan latar realistis. Sebuah pendekatan yang agak unik dan tentu saja cukup berbeda dengan lainnya.

Sinopsis

The Man From The Sea berkisah tentang seorang pria (Dean Fujioka) yang terdampar di pesisir pantai Aceh dan mengalami kehilangan ingatan. Karena tidak kunjung membuka suaranya untuk berbicara, maka warga yang menemukannya pun memberikan nama Laut untuknya. Ilma (Sekar Sari) yang berambisi menjadi jurnalis dan Kris (Adipati Dolken) yang membantunya dengan kameranya, kemudian bersemangat untuk meliput Laut sebagai bahan berita.

Bersama Takako (Mayu Tsuruta) yang merupakan aktivis NGO, merekapun mengunjungi Laut dan kemudian memberikan tempat bagi Laut di rumah Takako sembari menunggu Laut membuka suara dan memberikan penjelasan.

Takako bersama anaknya Takashi (Taiga) dan keponakannya Sachiko (Junko Abe) beserta Ilma dan Kris kemudian mendapatkan banyak hal yang tak lazim dari Laut selama dia tinggal di rumah. Laut melakukan banyak hal yang ajaib seperti membuat air pancuran menjadi hangat, membentuk bola air di udara hingga menyembuhkan seorang anak yang sakit.

Konflik pun muncul kala seorang wartawati senior dari Jakarta yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti datang untuk menemui Takako yang merupakan sahabat karibnya. Tertarik dengan hal spesial yang dimiliki Laut, ia pun kemudian memiliki rencana pribadi untuk mengekspos laut. Rencana yang bukan hanya menyakiti hati Ilma, namun juga mengungkap lebih banyak hal mengagetkan dari Laut.

 

Penuh Simbol dan Makna

Sejatinya film The Man From The Sea ini meninggalkan banyak simbol di sepanjang film. Simbol-simbol yang bisa diartikan berbeda tergantung bagaimana kita menyikapinya. Karakter Laut sendiri bisa diinterpretasikan menjadi dua hal.

Yang pertama, karakter Laut bisa diinterpretasikan sebagai filosofi laut itu sendiri. Dimana laut yang tenang dan indah tidak hanya menyimpan banyak keajaiban namun juga mematikan dan membawa tragedi di sisi lainnya. Laut juga lah yang menjadi penghubung dua kebudayaan hingga bisa bertemu menjadi satu. Tak lupa, laut juga lah yang menjadi sarana bagi para nabi untuk menunjukkan kuasa Tuhan yang tak bisa dijelaskan dengan akal manusia.

Yang kedua, karakter Laut yang sangat tenang juga bisa diinterpretasikan layaknya alam yang hadir di tengah-tengah manusia. Bagaimana secara perlahan kita bisa melihat proses penerimaan manusia terhadap alam yang kita tempati, keajaiban dan kerusakan yang ditimbulkan dalam waktu yang singkat, hingga respon balik manusia terhadap berbagai hal yang ditimbulkan oleh alam, baik dan buruknya.

Perpaduan Budaya Jepang dan Indonesia yang Kental

Namun selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, film ini memang sangat kental dalam menampilkan perpaduan budaya Jepang dan Indonesia dalam satu frame. Banyak adegan yang menunjukkan perbedaan budaya hingga culture shock, meskipun tidak semuanya ditampilkan dengan halus dan sempurna.

Adegan kala Ilma dan Sachiko mengunjungi monumen PLTD apung yang merupakan kapal berbobot 2,6 ribu ton yang dihempas tsunami hingga ke tengah kota misalnya, ingin menunjukkan bahwa Indonesia cenderung senang membuat memoar tragis untuk terus dikenang. Sementara Jepang yang tak kalah dahsyat dihantam tsunami, justru ingin cepat-cepat melupakan kejadian naas tersebut dengan segera membersihkan segala puing yang tersisa. Hal ini tentu menjadi semacam culture shock bagi Sachiko yang baru saja mengenal singkat tentang Indonesia.

Adegan nelayan Aceh yang menyanyikan lagu berbahasa Jepang sebenarnya cukup dipaksakan di film ini, karena muncul secara tiba-tiba. Meskipun belakangan kita tahu bahwa lagu itu didapatnya kala menjadi bagian dari tentara Jepang yang bersama Indonesia memberantas agresi militer Belanda di masa kemerdekaan, namun adegan ini terasa dipaksakan hanya demi menyajikan bukti betapa Jepang dan Indonesia sebenarnya sangat terikat satu sama lain.

Penampilan Taiga yang Memukau

Meskipun Dean Fujioka didapuk sebagai karakter utama sebagai Laut di film ini, namun nyatanya Dean justru tidak menampilkan akting terbaiknya seperti kala dirinya tampil di film Fullmetal Alchemist. Dean memang berhasil menampilkan sosok Laut yang pendiam dan misterius, namun kehadirannya justru tenggelam oleh kehadiran Takashi yang diperankan Taiga.

Taiga justru mencuri perhatian berkat fasihnya dia menggunakan bahasa Indonesia pada film ini. Ya, Taiga memang memerankan Takashi yang diceritakan memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia karena kecintaannya dengan Indonesia.

Bahkan tak hanya itu, banyak gestur tubuh Taiga yang sangat meyakinkan dirinya sebagai warga naturalisasi. Seperti contohnya mengangkat kakinya ke kursi kala menikmati makanan atau kala duduk santai sambil menonton televisi, benar-benar ditampilkan dengan natural dan sangat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan orang Jepang. Juga tak lupa, sang sutradara menyelipkan kritikan terkait minimnya kegiatan membaca orang Indonesia melalui karakter Taiga yang digambarkan sangat malas membaca buku, tidak seperti orang Jepang pada umumnya.

Sinematografi Memukau

The Man From The Sea juga menyajikan visual dan sinematografi yang memukau. Adegan pembuka yang menggambarkan sang tokoh utama terdampar dengan teknik pengambilan gambar jarak jauh untuk kemudian ditransisi ke aerial shoot, mampu menjadi sajian pembuka yang cukup dramatis. Juga di beberapa adegan yang menggunakan kamera handheld, nampak menjadi visual yang cukup unik karena ditampilkan layaknya rekaman amatir.

Tone warna yang dipilih pun sangat lembut, sehingga mampu menghasilkan suasana nyaman dan tenang dalam menyaksikan film ini. Apalagi banyak adegan di film ini yang memaksimalkan potensi alam Aceh mulai dari pantai, air terjun hingga pegunungan. Sehingga visual yang dihasilkan pun memang sangat maksimal dan menggugah. Ditambah adegan klimaks yang mindblowing, menjadikan film ini juga sangat baik dalam memvisualisasikan adegan surealisnya.

Poin Negatif

Dialog antara aktor Jepang dan Indonesia menjadi salah satu poin negatif di film ini selain jalinan antar adegan yang nampak tak konsisten dan bertransisi dengan kasar. Mungkin karena orang-orang Jepang di film ini “dipaksa” berbahasa Indonesia, menjadikan ritme dialognya nampak lambat dan memiliki blank space kala adegan berlangsung. Jadi nampak seperti dialog drama khas anak sekolahan. Hanya saja ketika dialog antar sesama aktor Indonesia atau antar sesama aktor Jepang muncul, dialog kembali menjadi normal dan sangat baik.

Tak bisa dipungkiri, Koji Fukada memang hanya ingin bermain-main dengan konsep lautnya, tanpa memberikan sebuah pesan yang jelas. Hal ini juga diperkuat dari keterangan pers nya yang ingin membuat judul film ini Umi no Tawamure atau “bermain-main dengan laut” pada awalnya. Hal ini berimbas pada potongan-potongan adegan yang nampak tidak menyatu dan bertransisi dengan kasar, layaknya cerita pendek yang berjalan sendiri-sendiri. Satu-satunya benang merah di film ini adalah Laut itu sendiri beserta usaha orang-orang disekelilingnya dalam mencari tahu siapa Laut dan apa yang dilakukan dia sebenarnya.

Sementara latar tragedi Aceh justru hanya menjadi semacam tempelan saja di film ini. Tak ada penjelasan lebih jauh soal hubungan Laut dan tragedi Aceh, selain penggambaran betapa terlukanya warga Aceh atas kejadian yang menimpa mereka bertahun-tahun silam. Itupun hanya ditampilkan sekilas di awal film, sementara di sisa film, tragedi tsunami Aceh menguap begitu saja.

Penutup

The Man From The Sea memang menjadi film yang membiarkan penontonnya berfantasi selama 107 menit. Tak ada kesimpulan pasti terkait akhir kisah film ini. Penonton diberikan kebebasan dalam mengartikan setiap makna dan simbol yang disajikan sang sutradara dalam film ini sekaligus bermain-main dengan konsep Laut beserta keajaibannya.

Namun begitu, film yang memaksimalkan potensi alam Aceh dan mencoba menggabungkan kultur budaya Jepang dan Indonesia yang sangat berbeda ini memang patut diapresiasi. Penampilan aktor dan aktris gabungan dua negara tersebut memang menyajikan sesuatu yang unik dan segar bagi industri perfilman kedua negara.

Film ini memang baru ditampilkan pada Pekan Sinema Jepang beberapa waktu lalu serta press screening nya di Plaza Indonesia tanggal 17 Desember lalu. Belum ada tanggal pasti kapan penayangan regulernya di Indonesia akan dimulai. Jadi, harap sabar menunggu jika penasaran dengan film ini.

Loading...

Review Film The Man From The Sea (2018) - Filosofi Laut dalam Latar Tragedi Tsunami Aceh
6.5Overall Score
Reader Rating 5 Votes
7.6