Semenjak Mad Max: Fury Road dirilis pada 2015, saya menjadi salah satu penonton yang sangat percaya kalau Charlize Theron adalah bintang action yang sungguh menjanjikan. Film drama atau komedi miliknya memang baik, tetapi setiap film action yang ia bintangi selalu berhasil menghibur. Lihat saja Atomic Blonde, di mana ia berubah menjadi seseorang yang mematikan layaknya John Wick.

Kini Charlize Theron menjadi bintang utama di The Old Guard, film terbaru Netflix yang disutradarai oleh Gina Prince-Bythewood (Beyond the Lights). Ia bermain sebagai Andromache sang Scythia, atau yang biasa dipanggil Andy. Di sini, ia memimpin sebuah regu rahasia beranggotakan empat orang di mana semua anggotanya adalah orang yang hidup secara abadi, yang berarti tidak bisa mati. Mereka sudah hidup lebih dari ratusan tahun, dengan Andy yang tertua dari keempatnya.

Keempatnya ini memang memiliki sifat dan masa lalu yang unik, sehingga mampu membuat regu ini terus menarik untuk terus diikuti. Selain Andy, ada Booker (Matthias Schoenaerts) yang pernah kehilangan orang yang disayanginya dalam hidupnya. Begitu juga dengan Andy, sehingga keduanya, meski terus memanfaatkan kekuatan mereka, selalu sulit untuk melawan perasaan duka yang selalu menyelimuti mereka.

Loading...

Kemudian ada Nicky (Luca Marinelli) dan Joe (Marwan Kenzari) yang telah hidup dari masa Perang Salib, di mana mereka sebelumnya telah saling bunuh terus-menerus karena berada di kubu yang berbeda, tetapi menariknya, kini telah menjadi kekasih yang tidak terpisahkan. Memang sudah sangat banyak film action yang menggunakan konsep kelompok seperti ini, namun The Old Guard berhasil membuat regunya menarik dan berbeda dari film-film lainnya dengan konsep serupa.

Saat tengah menjalankan misi untuk Copley (Chiwetel Ejiofor), mantan CIA, Andy dan regunya rupanya memasuki jebakan yang telah direncanakan oleh Copley guna membuktikan kalau regu ini adalah kumpulan orang yang hidup abadi. Copley pun merencanakan untuk menangkap keempatnya dan diserahkan kepada Merrick (Harry Melling), kepala Merrick Pharmaceutical yang bertujuan untuk meneliti keempatnya guna mendapatkan obat untuk segala jenis penyakit.

Pada suatu ketika Andy dan regunya mendapati sebuah mimpi secara bersamaan, kalau di Afganistan teradap seorang marinir yang baru saja bangkit kembali dari kematiannya, seorang wanita muda bernama Nile Freeman (KiKi Layne). Andy, dengan sigap, langsung datang dan menjemputnya untuk bergabung dengan regu yang menyenangkan itu. Hidup abadi menyenangkan, bukan?

Dengan rambutnya yang hitam dan pendek, gerakannya yang gesit dan mematikan serta kapaknya yang sangat keren, Andy memang terlihat seperti sebuah karakter action yang sempurna. Tidak hanya itu, masa lalunya juga menambah aura misteri dalam film dan kembali membuat saya berpikir, sudah berapa lama Andy dan kawan-kawannya hidup?

Ada satu percakapan antara Andy dan Nile yang sangat sempurna membangun aura misterius mengenai kehidupan Andy. Saat Nile berdoa, Andy bertanya “Kau berdoa? Tuhan tidak ada.” “Tuhanku ada,” balas Nile. Andy kemudian lanjut membalas “Kau tahu, ada masa ketika aku disembah sebagai dewa.”

Dari karakternya saja saya sudah penasaran bagaimana film ini akan berjalan. Tetapi, bukankah jika karakternya tidak bisa mati, berarti semua aksi di dalam film akan sia-sia karena kita mengetahui mereka tidak bisa mati? Di sinilah film ini terasa pintar karena masih mencoba memberikan penjelasan mengenai sesuatu yang berpotensi membuat film terasa ganjil.

Andy menjelaskan kalau meski luka-luka yang ia dan temannya terima bisa sembuh seketika, akan ada waktu di mana luka-lukanya itu tidak akan tertutup dengan sendirinya dan mereka dapat mati layaknya orang biasa. Mungkin hari ini luka yang diterima bisa saja sembuh, namun besok bisa saja kehidupan abadi yang dimilikinya hilang dan mereka bisa mati begitu saja.

Dengan begitu saya bisa masih bisa merasakan, meski mereka memiliki keunggulan yang sangat besar, perasaan bahaya yang selalu membayangi mereka setiap menemui musuh. Setiap terkena tembak atau tertusuk benda tajam, saya langsung berpikir “Apakah sekarang saatnya mereka sudah tidak abadi lagi? Apakah sekarang saatnya mereka akan mati, setelah sekian lamanya hidup?”

Bagian berantem di film ini memang sangatlah seru, itu sudah tidak perlu didebatkan lagi. Terutama saat sudah bertarung jarak dekat, seperti saat Andy melawan sekumpulan orang yang mengenakan rompi lengkap dengan senjata. Dengan pedang di tangan kanan, dan pistol di tangan kiri, adegan itu kembali menunjukkan betapa berbakatnya Charlize Theron membunuh orang dengan koreografi yang cukup kompleks.

Tetapi, yang mungkin saya sesali dari film ini adalah penggunaan musiknya. Tunggu dulu, musik di film ini memanglah seru, saya setuju dengan itu. Namun bayangkan jika musik di film ini, daripada menggunakan musik electropop dari berbagai musisi, menggunakan musik yang epik dan mengguncang adrenalin seperti musik-musik dari komposer yang memang paham bagaimana membangkitkan sebuah adegan dengan musik, seperti musiknya Hans Zimmer.

Diadaptasi dari komik dengan nama yang sama, The Old Guard memang adalah film komik yang sangat menarik karena tidak hanya menjadi film action yang seru dengan cerita yang unik, namun juga bersiap menjadi film yang akan memiliki sequel karena masih memiliki kisah yang bisa dilanjutkan dan menjadi sesuatu yang lebih besar dari film ini. Dan jika film pertamanya sebagus ini, maka ide sequel terlihat menggiurkan sekaligus menjanjikan.

Tidak hanya film ini berpotensi memulai sebuah franchise baru, tetapi The Old Guard juga berhasil membuat suatu konsep yang mungkin sering dipakai film-film lainnya (terutama film superhero) terasa sangat segar. Terutama dengan cerita yang berhasil membuat konsep itu terlihat berbeda serta karakter yang sangat seru untuk diikuti membuat ini film action yang cocok untuk menemani musim panas di rumah.

Loading...

Review Film The Old Guard (Netflix, 2020) - Pejuang yang Hidup Abadi Harus Bertahan Hidup
8Overall Score
Reader Rating 0 Votes
0.0