Sebagai adaptasi dari serial manga terkenal, Ghost in the Shell menjadi salah satu film yang ditunggu pada tahun ini. Film yang disutradarai oleh Rupert Sanders ini pun telah dirilis di bioskop tanah air pekan lalu, Rabu (29/3). Walaupun demikian, pertama kali dirilis di Jepang, karya Masamune Shirow ini tidak langsung dikenal secara luas. Namun ketika Ghost in the Shell (1995) arahan Mamoru Oishii ditayangkan, film yang diproduksi oleh studio animasi Production I.G ini menerima kritik positif baik secara domestik maupun internasional.

Tentu, sebagai versi terbaru dan live action produksi Hollywood, banyak yang membedakan film ini dengan versi originalnya. Salah satunya adalah pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama, Major. Keputusan ini sempat mengundang kontroversi dan tuduhan whitewashing. Nah, selain perubahan etnis karakter, ini dia 5 perbedaan lain dari versi anime dan remake Ghost in the Shell:

Sebelum membaca, konten ini tentunya mengandung spoiler, jadi kalau kamu belum nonton dan tidak mau terkena spoiler, lewati dulu ya.

Loading...

1. Fokus dari Karakter

ghost_in_the_shell_teaser_trailer

Salah satu perbedaan yang dapat ditemukan dari kedua versi tersebut adalah fokus dari kisah karakter Major. Pada versi animenya, fokus pada kisah berada pada masa depan Major, lewat jalinan kejadian yang dilalui, ketika pikirannya menyatu dengan program pemberontak, kekuatan pikirannya meningkat lebih tinggi. Sedangkan pada versi terbarunya, jalinan cerita justru berkutat pada masa lalu Major sebelum menjadi individu cyber (otak manusia di dalam tubuh robot).

Pada bagian ketiga film, Major menemukan masa lalunya sebagai remaja Jepang yang bernama Motoko Kusanagi. Ia diculik dan dihapus memorinya oleh Hanka Robotics untuk dieksperimen. Alur ini juga menjawab kontroversi whitewashing terhadap film ini.

2. Emosi yang Ditampilkan Karakter

Setiap karakter pada versi anime Ghost in the Shell memiliki emosi yang datar. Bahkan, juga pada tampilan animasi mata milik Batou dan Major yang ditampilkan besar dengan tatapan hampa. Mamoru Oishii, sutradara versi original juga tidak mengijinkan aktor pengisi suara untuk melankolis dan emosional dalam menyampaikan kalimat di skrip.

Salah satunya pada dialog, “Saya merasakan takut, dingin, kesendirian…bahkan terkadang saya merasakan harapan.” yang tetap disampaikan dengan datar. Sebaliknya, emosi tiap karakter ia sampaikan lewat warna, cahaya, dan gerakan di sekitar mereka misalnya saat hujan yang turun di balik jendela yang menggambarkan kesedihan Major.

Kontras dengan hal tersebut, karakter yang diarahkan Rupert Sanders menunjukkan emosi mereka secara terbuka bahkan disampaikan dengan bersemangat dan cukup sering tentang apa yang mereka rasakan dan apa sebabnya.

3. Latar Belakang Mata Prostetik Batou

ghost-in-the-shell-pilou-asbaek-batou

Berbeda dengan versi original yang menampilkan Batou sejak awal dengan mata buatan, karakter yang diperankan oleh Pilou Asbæk dalam versi terbaru ditampilkan dengan mata asli. Ia adalah seseorang yang menolak perbaikan pada tubuh. Ia menerima mata buatan ketika ia mengalami kecelakaan saat bekerja. Penambahan kisah ini dilakukan guna menunjukkan keberagaman sifat dalam menghadapi perkembangan teknologi tanpa terlalu jauh menyimpang dari sumber aslinya.

Selain itu, karakter Batou dalam film ini digambarkan lebih mirip dengan versi manganya dibanding versi animenya. Tak hanya tak terlihat mengintimidasi dan dapat menahan dirinya ketika bertarung namun juga ramah dan dapat diandalkan. Sedangkan pada animenya, karakter Batou digambarkan sebagai seseorang yang serius dan sangat berorientasi pada pekerjaannya.

4. Kuze adalah Gabungan dari Dua Karakter

Diceritakan dalam Ghost in the ShellMajor ditugaskan untuk memburu cyberterrorist yang menyerang Hanka Robotics. Identitas dari musuh Hanka tersebut adalah Kuze (Michael Pitt) yang juga merupakan salah satu dari 98 eksperimen milik perusahaan itu sebelum Major. Karakter tersebut merupakan gabungan dari Puppetmaster (anime) dan Kuze (season 2 serial TV).

Walaupun dalam perkenalan dan adegan finalnya di bangunan bobrok tidak jauh berbeda dengan Kuze di serial TV, namun perannya dalam membangunkan ingatan Major dapat terlihat sebagai perannya sebagai pendamping dari Puppetmaster.

5. Penjahat dari Film ini: Hanka Robotics

Tema yang diangkat kedua versi ini tidaklah jauh berbeda yaitu mengenai etika kemajuan teknologi dan apa artinya menjadi manusia. Namun, hal yang dihilangkan dari film versi baru ini adalah tidak adanya campur tangan politik internasional dalam kejahatan yang terjadi sehingga Hanka Robotics seoranglah yang menjadi penyebab konflik.

Hal ini tentunya membuat film ini dapat tayang secara internasional tanpa menyinggung pasar potensial. Selain itu, kisah ini juga menghapus batas negara dan lebih memfokuskan target pada kejahatan yang terbentuk oleh konglomerat di era modern yang mana lebih mendesak.

6. Dunia yang Ditampilkan lebih Maju

Ghost in the Shell (1995) menyajikan tampilan kota Jepang di masa depan seperti di dunia nyata yang mana sering diabaikan oleh film-film science fiction lainnya. Kemajuan tersebut dibangun di atas kota Jepang yang terkena perubahan iklim dan mengalami banjir sehingga banyak jalan yang terpisah kanal.

Versi 2017 tidak jauh berbeda, namun lebih futuristik dengan menampilkan hologram di jalanan dan kanalnya sudah mulai berkurang. Hal ini juga didasari oleh film ini yang memang dibuat 22 tahun setelah versi animenya. Selain dari sisi teknologi, penduduk kota tersebut juga digambarkan multikultural dengan berbagai etnis dan suku yang tinggal di negara tersebut.

Loading...