“Aku tidak pernah membutuhkan filosofi untuk kehidupan.”

Kalimat itu diucapkan oleh sang tokoh utama kita pada awal film, Kyle Ribb, dengan rambutnya yang setengah gondrong, brewok yang tebal dan matanya yang setengah terbuka. Ia kemudian lanjut menjelaskan mengapa ia tidak membutuhkan filosofi dengan kalimat yang memutar-mutar, dan kira-kira seperti inilah bagaimana film ini berjalan.

Berjalan selama hampir dua jam, Arkansas terbagi dalam 5 bab yang mirip dengan film-film Quentin Tarantino di mana setiap bab-nya menceritakan waktu yang berbeda. Film ini juga mengambil inspirasi dari film Coen Bersaudara yang di mana film memiliki humor gelap dalam situasi yang seharusnya tidak lucu. Iya, film ini masih belum seberhasil kedua sutradara tersebut tetapi film ini juga masih bekerja dengan caranya sendiri.

Loading...

Di Arkansas, kita diceritakan tiga karakter. Sebelum memasuki bab pertama, kita diceritakan bagaimana Kyle (Liam Hemsworth) mendapatkan promosi untuk mengedarkan narkoba di kota Arkansas. Saat sudah berada di Arkansas, ia bertemu dengan orang yang akan menjadi teman kerjanya, Swin Horn (Clark Duke). Kepribadian keduanya sangatlah berbeda yang pada akhirnya akan menjadi landasan humor dari film ini. Kyle adalah orang yang tangguh dan tidak banyak berbicara, sementara Swin? Tidak hanya ia sangatlah percaya diri, namun ia juga sangat yakin bahwa siapapun yang bertemu dengan dirinya ingin menjadi temannya.

Kemudian masuklah kita pada bab pertama, “Boredom is Beautiful”. Ironisnya, pada bab ini saya juga merasakan kebosanan dan itu tidaklah indah. Di saat saya berpikir bahwa ini akan menjadi film yang kelam ataupun sinis, bab ini terasa seperti sebuah film komedi ringan di mana kita diperlihatkan kehidupan sehari-hari kedua tokoh jagoan kita. Bagaimana mereka menyamar menjadi ranger, bagaimana mereka mengedarkan narkoba.

Saya mengerti bahwa film ini lebih menekankan dengan karakternya. Ini bukanlah film yang terasa heboh ataupun terasa besar. Film ini juga tidak terlalu berat di cerita. Tidak, film ini lebih fokus dengan karakternya masing-masing. Bagaimana film ini akan berjalan jika karakternya berjalan, dan inilah yang membuat Arkansas menjadi film yang menarik. Kita diberikan kesempatan untuk benar-benar mempelajari dan mengenal karakter kita.

Namun sayangnya, cara itu terkadang tidak sering bekerja di sini. Jika karakternya tidak terlalu berbuat banyak, maka cerita juga kesannya akan terasa lambat dan inilah yang membuat bab pertama terasa kikuk. Nada film pada bab ini juga terasa terlalu mondar-mandir. Terkadang film terasa komedik dan ringan, namun setelah itu film terasa berat dan suram. Pergantian nada film, tanpa momen yang tepat, malah membuat film terasa tidak stabil.

Nah, film baru benar-benar terasa pada bab kedua yang berjudul “Frog”. Pada bab ini, di mana saya menyebutnya sebagai bab terbaik di Arkansas, kita diperkenal satu karakter yang sebetulnya akan menggendong seluruh film. Seorang pengedar narkoba bernama Frog (iya, saya juga berpikir ini mungkin bukan nama aslinya) yang diperankan oleh Vince Vaughn. Pada bab ini, kita dibawa ke masa lalu dan diceritakan bagaimana dirinya naik dari yang dulunya hanya menyelundupkan kaset bajakan menjadi narkoba.

Pada bab ini kita diperlihatkan kekuataan film ini yang sesungguhnya. Bagaimana ambisi seseorang seperti Frog rela melakukan apa saja untuk meraih keuntungan. Di kota Arkansas dengan lampu-lampu neon yang menyala terang pada malam hari seperti film karya Nicolas Winding Refn, kita melihat bagaimana Frog bekerja hari demi hari dan mengambil kekuasaan. Nuansa film juga berubah dari yang bab sebelumnya terasa ringan, sekarang telah menjadi sinis dan kelam, persis seperti apa yang saya harapkan.

Tema utama dari film ini adalah ambisi dan dilema. Ambisi diperlihatkan pada dua bab awal, bagaimana baik Kyle dan Swin berambisi untuk mengedarkan narkoba dan kaya raya dan begitu juga Frog yang akan melakukan apapun untuk meraih status sebagai pengedar narkoba teratas di kotanya. Dan dilema diperlihatkan pada 3 bab terakhir, di mana ketiga karakter ini menemui masalah yang membuat mereka harus memutar otak.

Dan iya, pada bab selanjutnya juga mengalami hal yang sama seperti pada bab sebelumnya. Saat Arkansas kembali menceritakan kisahnya Kyle dan Swin, alur cerita terasa terhambat. Tempo film juga menurun dan tidak se-mencekam saat menceritakan kebangkitan Frog. Namun saat bab selanjutnya memasuki kisah Frog lagi, barulah film bisa kembali mendapatkan tempo yang lebih stabil. Ini pun membuat film yang seharusnya bisa menjadi sangat baik berubah menjadi film yang memiliki nada yang naik turun, melewatkan kesempatannya untuk menjadi film neo-noir yang menegangkan.

Tetapi permainan antara ambisi dan dilema memang terpadu dengan sangat baik, yang memberikan para penonton perasaan bahwa sebuah impian tidaklah bisa diambil dengan mudah. Clark Duke, yang juga berperan sebagai sutradara dan penulis, dapat memberikan sebuah film yang meski hanya setengah matang namun sudah memiliki pesan ataupun makna yang cukup pada setiap adegannya. Apa yang saya kagumi dari dirinya adalah fakta bahwa ini adalah film pertama yang disutradarainya. Apalagi sebelumnya ia adalah seorang aktor yang biasa memainkan film komedi seperti Hot Tub Time Machine.

Loading...