Di tahun 1966, Cesar Romero memberikan kita sebuah gambaran akan Joker yang menjadi mastermind kriminal dan merepotkan sang caped crusader yang harus berjibaku menumpas geng mereka bersama dengan Robin. Meskipun lebih kental sebagai sosok prankster, namun Romero cukup untuk menjadi pondasi awal bagi kemunculan Joker di layar lebar.

Sedangkan di tahun 1989, Jack Nicholson memberikan penampilan solidnya sebagai The King of Comedy, yang juga sekaligus psikopat mengerikan dengan unsur humor yang tak biasa. Bahkan Jack Nicholson sempat membuat kita percaya bahwa dialah sosok the chosen one untuk memerankan karakter yang cukup sakral ini.

Loading...

Hingga pada tahun 2008, seorang aktor membuktikan bahwa interpretasi Joker bisa jauh lebih gelap dari sebelumnya. Jauh lebih intimidatif, gila dan psikopat. Ya, Heath Ledger dengan sentuhan tangan dingin Christopher Nolan, berhasil mengenalkan kepada kita sesosok penjahat yang punya cerita masa lalu berubah-ubah, sesosok penjahat yang mendalangi masalah dimana-mana, bahkan sesosok penjahat yang layak dikejar oleh sang manusia kelelawar.

Sempat menjadi kepala mafia dengan rambut hijau dan tubuh yang dicorat-coret bak pengusaha tajir pemilik klub malam di tahun 2016, Jared Leto yang potensial sayangnya tak pernah bisa dimaksimalkan dalam Suicide Squad. Joker di film ini tak lebih dari sekadar pelawak, tanpa memberikan kontribusi apapun dalam film. Praktis, interpretasi Joker yang sudah dibangun solid oleh Ledger harus terjun bebas oleh Leto.

Kini, di era dimana tema yang cenderung gelap menjadi sebuah tren baru. Dan eksplorasi atas kejiwaan seorang karakter menjadi makanan utama, Joker kemudian muncul kembali dalam sebuah garis waktu alternatif pada sebuah semesta yang menghubungkannya dengan berbagai kejadian kejahatan di Gotham City dan tentu saja dengan garis keturunan Wayne.

“All i have are negative thoughts.”- Arthur Fleck

Joker yang kali ini diperankan oleh Joaquin Phoenix, dimana kisahnya berdiri sendiri tanpa ada campur tangan Batman, namun masih ada campur tangan Wayne tentunya, harus diakui bahwa kali ini lebih ditujukan untuk mengeksplorasi sisi kejiwaannya dibanding origin story sang supervillain. Lebih dari itu, Todd Phillips juga turut memasukkan kegelisahannya pada kondisi sosial saat ini, yang masih berputar dalam konflik antara si kaya melawan si miskin dan si lemah melawan si kuat.

Itulah sebabnya, film ini lebih mengedepankan sosok Arthur Fleck itu sendiri, bukan The Joker seperti yang selama ini kita kenal. Joker di film ini, hanyalah menjadi semacam interpretasi atas tragedi dan kegagalan sang komedian dalam menghadapi kehidupannya, melawan ketidakadilan yang diterimanya, hingga membuatnya tak punya kesempatan untuk berpikir positif apalagi menghibur diri sendiri dan orang lain.

Namun setidaknya, dia masih bisa tertawa.

Singkatnya, Joker adalah sebuah film tentang mental illness yang kemudian bersembunyi dibalik sosok penjahat psycho terpopuler di dunia. Sama seperti Nolan yang menggarap film politik dengan unsur Batman yang kemudian dimasukkan ke dalamnya.

“I used to think that my life was a tragedy. But now I realize, it’s a comedy.”-Arthur Fleck

Yang patut diapresiasi dari sutradara Todd Phillips (Hangover trilogy, Starsky & Hutch) dan penulis skenario Scott Silver (The Fighter, The Finest Hour) adalah bagaimana mereka kemudian mampu mengkombinasikan unsur komik dan Joker era modern menjadi satu kesatuan yang kokoh.

Sebagian cerita dalam komik The Killing Joke yang menjadi materi awal pembentukan karakter Arthur Fleck, lantas berpadu dengan sosok Joker yang psikopat, yang sebelumnya berhasil dihidupkan oleh mendiang Heath Ledger. Menjadikan Joker-nya Phoenix sebagai sosok baru yang belum pernah kita lihat sebelumnya.

Perubahannya dari sesosok orang tertindas hingga kemudian mampu melampiaskan amarah terkait tragedi kehidupannya dalam sebuah ledakan tawa yang memuakkan, nyatanya mampu dimunculkan dalam step-step yang membuat kita percaya. Baik Frances Conroy sebagai Penny Fleck, Brett Cullen sebagai Thomas Wayne hingga Robert de Niro sebagai Murray Franklin, nampak kokoh sebagai sumber alasan terkait perubahan sosok Arthur. Ya, setidaknya itulah yang dipercaya oleh Arthur dan delusinya.

Robert de Niro sebagai raja komedian yang terkenal seantero publik lewat variety shownya, tak ubahnya kebalikan dari sosok Joker, sang raja komedi itu sendiri. Jika Joker menganggap seluruh hidup dan tindakannya adalah komedi, maka Murray yang diperankan de Niro, nampak sebagai interpretasi banyak orang yang berbahagia diatas penderitaan orang lain.

Ia tak ragu membuat jokes dari seseorang yang nampak “pantas” dijadikan bahan olok-olok massa, hanya karena penampilannya tanpa peduli akan latar kisah dibelakangnya. Sebuah gambaran relevan dari kehidupan sosial yang terjadi saat ini.

Arthur memang membuat kita empati pada kerasnya kehidupan yang dialaminya, pada tragedi demi tragedi yang menimpanya. Namun Arthur tidak meromantisasi tindakannya menjadi sebuah pembenaran yang membuatnya nampak menjadi anti-hero yang kemudian dicintai. Arthur tetaplah Arthur dengan kegilaan yang dirinya sendiri pun menyadarinya.

Arthur mungkin adalah sebagian dari manusia yang tertindas oleh lingkungan sosialnya. Arthur mungkin adalah sebagian dari manusia yang tak bisa berbicara lantang kepada penguasa. Arthur mungkin adalah sebagian dari manusia yang nalurinya mati karena kekecewaan demi kekecewaan yang menimpa sepanjang hidup.

Meskipun kemudian ia berdiri bak malaikat bagi sebagian orang yang mendukungnya, namun Arthur tetaplah penjahat yang selama ini kita kenal. Penjahat yang tak hanya berperan dalam  berbagai kegilaan di Gotham City, namun juga menjadi semacam interpretasi dari Yin-Yang pada sosok caped crusader kelak.

Jika Jack Nicholson berubah menjadi sosok psikopat setelah dilemparkan ke dalam cairan kimia yang merusak wajahnya, maka Joaquin Phoenix berubah menjadi sosok menakutkan pasca dilemparkan ke dalam sebuah lingkungan sosial yang tegas memisahkan antara golongan atas dan golongan bawah. Joaquin nampak memasukkan segala lika-liku kehidupan, penolakan  dan ketidakadilannya ke dalam satu sosok yang memaksa dirinya sendiri untuk memasang wajah bahagia.

Bobot tubuhnya yang berkurang banyak, seperti yang dilakukan Christian Bale dalam Rescue Dawn, nampak meyakinkan bahwa ia bukanlah sosok yang mampu melawan ketidakadilan melalui kekuatannya. Tak meyakinkan juga untuk bisa disebut sebagi penjahat, melainkan hanya sebagai pria dengan tingkat delusi yang mengkhawatirkan. Namun semuanya berubah ketika ia dengan dinginnya melakukan pembunuhannya yang pertama.

“Is it just me or is it getting crazier out there?”- Arthur Fleck.

Sebuah komposisi permainan cello dari Hildur Gudnadottir (Arrival, Sicario) kemudian semakin menambah unsur kelam film ini. Pun mampu merepresentasikan kegilaan yang terjadi dan timbul dalam diri Arthur.

Ditambah dengan sinematografi yang gelap namun tetap artistik dari Lawrence Sher (Hangover trilogy, Godzilla), tentu semakin menambah keindahan visual film ini. Bahkan dari hal-hal sederhana seperti kombinasi warna yang cukup kontras pada cipratan darah yang mengenai cat wajah Joker, cukup untuk menunjukkan deretan teror dan psikopatnya sang tokoh utama di film ini.

Film ini memang nampak kehilangan pace-nya mendekati akhir. Dilihat dari konklusi yang pada awalnya saya pikir nampak dieksekusi terlalu terburu-buru. Maksudnya, kita tahu bahwa Joker memang kelak menjadi mastermind handal di Gotham City, namun kita tidak diizinkan untuk mengetahui titik balik apa yang membuatnya menjadi dewa bagi sebagian kalangan. Ada konflik yang memperlihatkan hal tersebut, namun terasa kurang dalam.

Namun setelah dipahami lebih lanjut, hal tersebut memang nampak bukan menjadi concern utama bagi Todd Phillips. Kelahiran sang supervillain bukanlah tujuan utamanya, namun kelahiran sosok yang mampu memutarbalikkan segala tragedi yang menimpanyalah yang jadi poin penting dalam film ini.

Karena Arthur pada akhirnya mampu menertawakan segala yang terjadi pada hidupnya dengan lantang. Bukan lagi karena penyakit yang diderita sebelumnya, dimana memungkinkannya untuk tertawa tanpa kendali.

Ya, menertawakan segala tragedi ala sang pelawak.

Note: Gulir / scroll ke bawah untuk melihat rating penilaian film

Loading...

Review Film Joker (2019) - Menertawakan Tragedi ala Joker
9Overall Score
Reader Rating 2 Votes
9.0