Dari awal hingga akhir film, Lost Girls menggenggam penonton dengan ceritanya yang terbalut dengan nuansa kelam dan sinis. Film ini tidak pernah sekalipun berhenti dalam menceritakan kisahnya yang tragis dan menusuk. Kita, selama 95 menit, dituntun dengan perhalan namun pasti untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.

Lost Girls, bagi yang tidak mengetahuinya, menceritakan kisah nyata mengenai pembunuh berantai di Long Island, New York. Di film ini, kita diceritakan seorang Ibu bernama Mari Gilbert (Amy Ryan). Ia bekerja di dua pekerjaan sekaligus, yaitu di bidang konstruksi dan sebagai pelayan di sebuah kedai makan. Pada suatu hari, ia menyadari bahwa salah satu anaknya, Shannan Gilbert, menghilang.

Shannan sudah tidak tinggal bersama ibunya karena masalah yang pernah menimpa mereka. Shannan tinggal bersama pacarnya sementara Mari bersama kedua putrinya, Sherre (Thomasin McKenzie) dan Sarra Gilbert (Oona Laurence). Ia awalnya yakin bahwa Shannan baik-baik saja, namun setelah tidak ada kabar, Mari bersama kedua putrinya memulai usahanya untuk mencari Shannan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Loading...

Menonton Lost Girls, saya teringat dengan filmnya Denis Villeneuve, Prisoners yang dirilis pada tahun 2013. Keduanya sama-sama menceritakan orang tua yang berusaha mencari anaknya yang hilang. Namun hanya itu saja yang sama, dan sisanya berbeda. Jika tokoh utama di Prisoners terlihat garang dan ganas untuk mencari kebenaran, berbeda dengan Mari Gilbert.

Mari Gilbert adalah seorang ibu yang selalu sibuk. Ia sudah tidak bersuami, ia memiliki dua pekerjaan, dan salah satu anaknya, Sarra mengalami gangguan dan harus selalu mengkonsumsi obatnya. “Aku tak suka obatnya. Itu membuat aku mengantuk,” ucap Sarra. “Itu juga menjauhkanmu dari membakar tisu di kamar mandi,” jawab Mari setelah menjemput Sarra yang terkena skorsing dari sekolahnya.

Masalah dan kesibukan yang menimpanya tersebut membuat Mari karakter yang sangat kompleks, dan untungnya Amy Ryan mampu menonjolkan kompleksitas tersebut (sebelum ini saya hanya mengetahui dirinya dari sitcom The Office). Ia mampu menangkap emosi Mari, seorang ibu yang akan melakukan segalanya untuk menemukan anaknya. Ia marah, ia mengamuk, ia meluap emosinya, namun ia juga bisa menahan diri dan berpikir apa langkah yang terbaik selanjutnya.

Lost Girls tidak hanya mengandalkan Amy Ryan untuk membawa ceritanya. Di tangan Liz Garbus — sutradara yang biasanya membuat dokumentari — Lost Girls mampu mengolah ceritanya secara perlahan namun pasti. Dengan memanfaatkan lingkungan kotanya yang kecil dan Long Island yang mayoritas di film hanya hutan dan pantai, film jadi terasa sangatlah intim dan dekat dengan cerita yang disuguhkannya.

Saat kasus hilangnya Shannan sudah heboh, rupanya terungkap bahwa Shannan adalah seorang prostitusi, sesuatu yang belum diketahui oleh keluarganya. Tidak hanya itu, para polisi yang sedang sibuk mencari keberadaan Shannan menemukan beberapa mayat yang berada di pantai Long Island, menambah kehebohan dalam kasus itu. Dan setelah diselidiki, mayat-mayat yang ditemukan itu rupanya memiliki profesi yang sama seperti Shannan, menambah bukti bahwa ini semua bisa saja dilakukan oleh satu orang.

Apa yang membuat Lost Girls menarik adalah bagaimana mereka memperlakukan para korban itu. Iya, pekerjaannya mereka mungkin saja sangat memilukan, namun film ini tidak memperlakukan mereka seperti objek. Film ini menghormati para korban itu dengan menceritakan bagaimana perjuangan para keluarga korban itu untuk mencari kebenaran. Mari pun bersatu dengan para keluarga dari korban itu untuk sama-sama menemukan Shannan yang masih menghilang.

Di film ini, polisi dianggap sebagai sesuatu yang lambat. Ini bukanlah sebuah film police procedural di mana polisi yang memulai mengivestigasi. Tidak, ini adalah film anti-police procedural — kalaupun istilah itu emang ada — di mana bukan polisi yang menyelidiki melainkan para keluarga korban. Melihat Mari, bersama para keluarga korban lainnya, mengambil inisiatif untuk menyelidiki dan menginterogasi siapa saja yang berada di jangkauan tempat Shannan terakhir dilihat sangatlah memberikan harapan meski nada film berjalan dengan kelam.

Mari tidak digambarkan sebagai orang yang hanya diam saja. Ia akan melakukan apapun yang ia lakukan untuk menemui putrinya, tetapi tidak dengan emosi ataupun dengan ganas dan agresif. Ia masih tenang, ia masih memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan. Dibantu dengan keluarga korban lainnya, Mari bersama kedua putrinya berusaha semampu mereka apa yang sebenarnya terjadi dengan Shannan.

Pada akhirnya, film ini tidaklah memiliki ending. Ini adalah film dari kisah nyata di mana kasusnya masih simpang siur, hingga sekarang. Namun film ini tidak berfokus dengan pembunuhan ataupun dengan sang pembunuh, film ini memusatkan perhatiannya terhadap para korban dan keluarganya, bagaimana mereka akan melewati masalah ini bersama-sama. Lost Girls akan merayap ke dalam dirimu selama film ini berjalan, dan film ini akan memukulmu di saat kamu tidak menduganya.

Loading...