Saat menyebut nama sineas Richard Oh, tidak ada hal lain dalam benak penulis selain film karyanya terdahulu, seperti Terpana, Melancholy Is A Movement dan Perburuan yang kental unsur metafora dan alegori yang terkandung di dalam penceritaannya.

Kini hasil kerjasama Metafora Pictures milik Richard dan Timeless Pictures, hadir sebuah film berjudul Love is A Bird yang dibintangi oleh Bront Palarae, Ibel Tenny, Gemilang Sinatrya, Ibnu Widodo, Salvita De Corte dan Morgan Oey, yang tayang di bioskop mulai 14 November 2019.

film Love is A Bird

Loading...

Sinopsis

Di Jogjakarta, Darma (Bront Palarae) bertemu dengan Naira (Ibel Tenny), seorang penari jalanan yang seketika mengalihkan perhatian Darma dari masalah hubungan kasihnya dengan pacarnya selama 6 tahun putus-sambung, Kirana (Gemilang Sinatrya). Setelah mengikuti Naira selama seharian penuh, Darma makin mengenal Naira dan mulai memahami tentang arti cinta dan kebebasan.

Di Jakarta, Darma pun bertekad membereskan hubungannya dengan Kirana dan memperbaiki kehidupannya.

Ulasan

Beberapa baris kalimat dalam sinopsis di atas memang menandakan premis film yang sederhana, tetapi bukan Richard Oh namanya kalau tidak mengambil jalan lain untuk menyampaikan kisahnya.

Bekerjasama dengan Marsio Juwono, sang sinematografer sekaligus produser film ini, Richard Oh memutuskan jalan eksploratif secara visual dalam menyampaikan cerita dan emosi para karakter di dalam film kepada penonton. Hasilnya? Pemahaman akan makna film berpulang kepada masing-masing individu yang menonton, namun secara teknis dan kualitas penceritaannya terasa tidak seimbang.

film Love is A Bird

Kisah yang sejatinya sederhana dan bermakna dalam yang sebenarnya terkandung dalam judul filmnya ini sayangnya disampaikan kelewat artsy dengan audio dan visual yang inkonsisten. Teknik-teknik pengambilan gambar bergaya handheld dipadu statis dengan permainan filter kamera yang beragam bukannya mengesankan variatif, tetapi malah memusingkan.

Sepertinya ada tujuan tertentu dalam penggunaan shot-shotnya yang terasa inkonsisten, utamanya dalam penggunaan efek bokeh yang tidak jelas apakah itu adegan flashback atau khayalan karena tampilannya seperti adegan dreamy atau imajinasi dari salah satu karakter.

Dari sisi karakterisasi, selain dari karakter Darma dan Naira, praktis tidak ada karakter lain yang menarik. Ada sebuah subplot yang menampilkan karakter Franny (Salvita De Corte) yang eksentrik namun keberadaannya di dalam film terlalu tiba-tiba dan terasa tempelan. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam konferensi pers sebelum film dimulai, di mana karakter Franny memang tidak ada di dalam draft awal film dan baru ditambahkan setelah Salvita menghubungi Richard untuk ingin ikut serta di film berikutnya Richard. Walaupun begitu, saya rasa karakter Franny adalah karakter paling menarik di antara karakter lain di dalam film Love is A Bird.

film Love is A Bird

Dari sisi plot naskah yang ditulis sendiri oleh Richard Oh, tidak ada yang istimewa, guliran plotnya yang memasukkan sedikit adegan flashback dengan kandungan alegori yang kental dapat sedikit membuat dahi penonton mengernyit. Faktor kesukaan penonton pada karakter Darma atau Naira saja yang bisa membuat penasaran menanti jawabannya di akhir film.

Sisi teknis tidak ada yang spesial, malah dari sisi sinematografi cenderung kurang ditangani dengan teliti. Dalam beberapa adegan dengan visual bokeh, fokus kamera tidak konsisten, saat handheld beberapa kali memusingkan, padahal tidak ada adegan action yang menyebabkan kamera bergerak liar, tetapi penulis merasakan pusing beberapa kali. Namun tidak ada masalah saat adegan kamera statis, blocking pemain saat adegan Franny dengan Jafran pun sangat asyik dengan tambahan visual danau yang cantik.

Sisi lain yang kurang mendukung film adalah tata suara yang juga tidak stabil. Suara dialog kadang terdengar terpendam, begitu juga ambience sekitar lokasi yang tidak terasa kontiunitasnya. Hal ini sebenarnya merupakan hal mendasar yang mengganggu kenikmatan menonton film.

film Love is A Bird

Departemen akting adalah sisi terkuat dalam film ini, Bront Palarae (Pengabdi Setan, Gundala) bermain apik menampilkan emosinya yang penuh kegalauan sepanjang film, rasa penasarannya pada karakter Naira pun terlihat jelas tanpa berlebihan. Ibel Tenny sebagai Naira juga menunjukkan bakatnya sebagai pendatang baru di dunia film. Karakter Naira yang lebih kompleks ditampilkan dengan baik meski tidak sepenuhnya sempurna.

Salvita De Corte (The Night Comes For Us, Ratu Ilmu Hitam) dan Ibnu Widodo (Siti) adalah pencuri perhatian terbesar dalam film, interaksi keduanya dalam sebuah sub plot yang lucu memberikan warna tersendiri dalam film. Tektokan dialog keduanya terasa padu dan terasa memiliki chemistry. Sementara Gemilang Sinatrya (Cinta Itu Buta), Teguh Ostenrik dan Morgan Oey (Mahasiswi Baru, Sweet 20) tidak memiliki kesempatan banyak untuk menunjukkan kualitas aktingnya.

film Love is A Bird

Kesimpulan Akhir

Love is A Bird adalah film yang memiliki kisah sederhana dan bermakna mendalam tentang cinta yang disajikan dalam bentuk film bergaya seni dengan eksplorasi visual dan berbagai metafora dalam pengadeganannya. Bagi penikmat film bergaya arthouse, film ini akan menantang Anda untuk menyaksikan sajian dari Richard Oh (Terpana, Perburuan), namun akan sangat menyulitkan bagi penonton awam yang tidak terbiasa.

Note: Scroll/gulir ke bawah untuk melihat rating penilaian fim

Loading...

Review Film Love Is A Bird (2019) – Eksplorasi Cinta Dan Emosi Lewat Eksperimen Visual Yang Inkonsisten
5.5Overall Score
Reader Rating 1 Vote
6.0