Review Film Scary Stories to Tell in The Dark (2019) - Kombinasi Horor dan Petualangan yang Seru dan Mendebarkan
7Overall Score
Reader Rating 1 Vote
7.3

Membawa nama besar sutradara kawakan Guillermo Del Toro (Pan’s Labyrinth, The Shape of Water) pada setiap konten marketingnya, praktis membuat Scary Stories to Tell in The Dark menjadi salah satu film horor yang paling ditunggu kehadirannya di tahun ini. Namun kali ini Guillermo Del Toro hanya berperan sebagai produser saja sementara kursi sutradara diduduki oleh Andre Øvredal yang lebih dulu dikenal lewat film Trollhunter (2010) dan The Autopsy of Jane Doe (2016).

Diangkat dari kumpulan cerita pendek horor klasik untuk anak-anak, Scary Stories to Tell in The Dark lantas mengadaptasi buku pertama dari total 3 seri Scary Stories yang dirilis antara tahun 1981 sampai dengan 1991. Ditulis oleh Alvin Schwartz, buku ini pun kemudian dilengkapi ilustrasi yang cukup menyeramkan oleh Stephen Gammell.

Loading...

Scary Stories kemudian menjadi buku horor anak-anak era 80-an yang laris di pasaran dan berhasil memberikan pengalaman menyeramkan yang terus dibawa oleh anak-anak tersebut hingga mereka dewasa kini. Maka kehadiran filmnya pun lantas begitu ditunggu karena diharapkan mampu memberikan nuansa nostalgia atau paling tidak pengalaman menyeramkan yang sama layaknya buku yang mereka baca di masa lalu.

Sinopsis

Sebuah perayaan Halloween tahun 1968 di kota kecil Mill Valley menjadi perayaan yang tak akan dilupakan oleh 5 orang remaja tanggung yang dipersatukan oleh situasi kala itu. Stella (Zoe Margaret Colletti), Auggie (Gabriel Rush) dan Chuck (Austin Zajur) sedang berusaha melarikan diri dari kejaran si perundung, Tommy (Austin Abrams), kala mereka bertemu dengan Ramon(Michael Garza) yang memberikan tempat persembunyian bagi mereka.

Dikarenakan masih dalam suasana Halloween, ide untuk pergi ke sebuah rumah angker peninggalan keluarga Bellows pun lantas dikemukakan oleh Stella pasca berakhirnya pengejaran itu yang kemudian disetujui oleh ketiga pria lainnya. Ruth(Natalie Ganzhorn), kakak dari Chuck yang menyusul ke rumah angker tersebut untuk mencari sang adik, akhirnya menjadi anggota kelima yang ikut dalam eksplorasi rumah angker tersebut.

Banyaknya misteri di sekitar mereka lantas tak menyurutkan niat mereka untuk tetap mengeksplorasi rumah tersebut. Sampai pada akhirnya sebuah buku ditemukan Stella dan merubah nasib mereka selamanya.

Buku yang ternyata tak hanya berisi cerita horor peninggalan keluarga Bellows saja, namun juga mampu menuliskan sendiri kisah horor yang akan dialami pembacanya. Kini, mereka pun harus berjibaku melawan rasa takut sekaligus melepaskan diri dari kutukan keluarga Bellows.

Kombinasi Horor dan Petualangan Horor yang Seru dan Mendebarkan

Scary Stories to Tell in The Dark sejatinya memberikan kombinasi film petualangan dan horor klasik yang cukup seru dan mendebarkan untuk disaksikan. Tingkat keseramannya mungkin berada pada level medium, namun unsur fun nya cukup mampu membuat kita tetap betah untuk mengikuti jalan ceritanya.

Dengan style penceritaan yang mengombinasikan antara fairy tales dan horor khas Del Toro serta berbagai unsur horor klasik lainnya yang coba disajikan Øvredal, film ini pun kemudian bertutur layaknya sebuah cerita rakyat atau dongeng masa kecil yang divisualisasikan. Narasinya sederhana, konfliknya sederhana, bahkan endingnya pun tak memiliki plot twist yang mengejutkan.

Film ini pun bisa dibilang mengkombinasikan unsur petualangan dan fantasi dengan beberapa unsur horor semisal thriller, gore, disturbing scene hingga supranatural horor. Sehingga menjadikannya sebuah paket lengkap horor yang mampu mengembalikan lagi nostalgia akan cerita-cerita masa kecil yang biasa dibaca pada serial Goosebumps dan sebagainya.

30 menit awal cukup berjalan lambat dimana kita hanya dibawa untuk mengenal masing-masing tokoh utamanya serta bagaimana proses munculnya buku maut di tengah-tengah mereka. Sementara 1 setengah jam sisanya diisi dengan rangkaian teror dari beberapa kisah populer yang ada di buku Scary Stories. Sebut saja teror The Pale Lady, Jangly Man, Harold the Scarecrow dan The Toe Monster. Sementara kesimpulan dari segala rangkaian teror yang ada juga cukup baik timingnya dan tidak terkesan terburu-buru.

Sepanjang film berjalan kita akan sering dipermainkan dalam suasana adegan yang full silent. Yaitu hanya menyisakan sang tokoh yang menjadi korban, untuk kemudian backsound menghilang dan ditemani pergerakan kamera spekulatif yang apik. Dimana pada momen ini pikiran kita dibiarkan untuk menebak-nebak kapan sang hantu akan muncul. Dan tentu saja hal ini terbukti efektif menghadirkan jumpscare yang kemudian menghasilkan beberapa teriakan dari kursi penonton meskipun pada akhirnya sang hantu muncul dalam adegan diluar prediksi.

Kekurangan mungkin hanya muncul pada tingkat keseraman yang cukup tanggung. Film ini bisa dibilang hanya menghadirkan suasana mencekam dan beberapa efek kejut yang mendebarkan berkat terbangunnya atmosfer horor secara bertahap sejak awal film. Namun untuk sosok hantu-hantunya sendiri tidak begitu menyeramkan dan memorable layaknya hantu pada film The Conjuring misalnya. Disini desain hantunya sangat Amerika sekali, sehingga untuk ukuran penonton Asia yang terbiasa dengan sosok hantu yang lebih creepy, mungkin akan menganggap biasa saja.

Selain itu jalan cerita yang mudah ditebak serta konflik klise yang sudah sering ditemui pada film horor lain juga menjadi nilai minus untuk film ini. Singkatnya, tak ada yang benar-benar segar dari segi penceritaan. Namun untungnya Øvredal masih mampu menjahit satu persatu cerita yang sejatinya adalah cerita antologi, menjadi satu kesatuan cerita utuh yang masih bisa diterima.

Oh iya, satir yang cukup nakal terkait Amerika juga diselipkan dengan cukup halus di antara deretan teror di sepanjang film. Jika jeli, kita akan bisa melihat berbagai kritikan terhadap perang Vietnam, Richard Nixon yang sama kontroversialnya dengan Trump, berita koran yang nyatanya menjadi sarana propaganda dan bukan kebenaran, hingga isu rasisme antara Amerika dan Mexico yang turut serta dimasukkan pada film ini. Dan semua hal tersebut nyatanya masih relate dengan kondisi sosial politik Amerika bahkan dunia saat ini.

Penutup

Menyajikan kombinasi film petualangan anak-anak klasik dengan horor fantasi klasik yang mendebarkan, membuat Scary Stories layaknya sebuah wahana rumah hantu yang cukup menyenangkan untuk dinikmati. Narasi dan konflik sederhananya membuat kita betah mengikuti rangkaian teror yang tersusun apik selama 120 menit tersebut. Seru, lucu dan menghibur tentunya.

Tingkat keseramannya sendiri masuk dalam kategori medium. Sehingga rating PG-13 yang disematkan film ini untuk peredarannya di Amerika Serikat, jelas menjadi alasan mengapa unsur horor film ini masuk kategori “aman” sehingga bisa dikonsumsi juga oleh remaja yang memang menjadi target marketnya.

Namun sayang, unsur pelengkap penceritaan yang sudah sering kita temukan pada film lain membuat film ini tak benar-benar menghasilkan sesuatu yang segar. Scary Stories pada akhirnya memang bisa membuatmu terperanjat di dalam ruangan bioskop, namun juga mampu dengan cepatnya terlupakan berkat kisahnya yang tak bisa memberikan alasan untuk terus diingat.

Scary Stories tayang mulai hari ini, 7 Agustus 2019 di jaringan bioskop XXI.

 

Loading...