Dengan kesuksesan komersial dari film pertamanya, maka tak heran jika dua tahun kemudian Falcon Pictures merilis film #TemanTapiMenikah 2 sebagai sekuel dari romansa komedi tersebut.

Meskipun, di film keduanya ini, kisah yang terinspirasi dari novel karya Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion tersebut bergeser jauh dari konsep cerita di film pertamanya. Bukan lagi membahas kisah cinta remaja bertema friendzone, #TemanTapiMenikah2 menceritakan tentang kehidupan dua tokoh utamanya, Ditto dan Ayudia, pasca mereka menikah.

Seperti di film pertamanya, Rako Prijanto untuk kedua kalinya dipercaya untuk menjadi sutradara. Lebih lanjut, Johanna Wattimena juga mengulang posisinya sebagai penulis naskah.

Loading...

Di deretan pemain film, karakter utama Ayudia beralih dari Vanesha Prescilla menjadi diperankan oleh Mawar Eva de Jongh. Sementara itu, tokoh Ditto sendiri kembali diperankan oleh Adipati Dolken.

Setelah perilisan teatrikalnya pada 27 Februari 2020, film #TemanTapiMenikah dapat disaksikan secara streaming melalui Netflix sejak 28 Juni lalu.

 

Sinopsis

Setelah 13 tahun terjebak dalam hubungan friendzone, Ayudia dan Ditto akhirnya menikah. Seperti layaknya pasangan muda, mereka menyusun banyak rencana yang ingin mereka lakukan bersama setelah menikah. Tetapi, ketika Ayu kemudian hamil lebih awal dari dugaan mereka, keduanya pun mulai dihadapkan pada sejumlah tantangan di masa awal pernikahan.

 

Review

Saya menonton #TemanTapiMenikah 2 tanpa membawa ekspektasi tertentu. Saya belum pernah menonton kanal Youtube milik Ditto dan Ayu, belum pernah membaca novel mereka, dan bahkan belum pernah menonton film pertamanya.

Tetapi, dari film #TemanTapiMenikah 2, saya berhasil mendapat gambaran cukup baik tentang film pendahulunya. Penceritaan #TemanTapiMenikah 2 juga memiliki batasan cukup jelas untuk membuatnya menjadi sebuah kisah tunggal yang bisa dipahami oleh semua penonton, bahkan yang belum menonton prekuel film ini.

Film dibuka dengan beberapa menit yang menceritakan tentang kilasan awal persahabatan antara Ditto dan Ayu hingga mereka menikah. Tanpa membuang waktu, film ini lalu segera memulai kisah Ditto dan Ayu setelah mereka menjadi pasangan suami istri.

Meski hari-hari pertama pernikahan mereka dipenuhi kecanggungan karena belasan tahun menjalin hubungan sebagai teman, Ditto dan Ayu dengan cepat menyesuaikan dengan kehidupan baru mereka. Bahkan, keduanya merasa tak ada yang benar-benar berubah dalam diri satu sama lain.

Seperti kata Ditto, mereka berdua nampaknya sudah terbiasa menjalani hubungan dengan status “teman rasa pacar” maupun “pacar rasa teman”. Perkataan Ditto ini juga dibenarkan oleh teman-teman bermusiknya, yang saat mengamati senda gurau antara Ditto dan Ayu, lebih menganggap pasangan itu “kayak temen main bola” dibandingkan suami istri.

Tetapi, jika penasaran dengan cerita apa yang sebenarnya ditawarkan oleh #TemanTapiMenikah 2, sangat mudah untuk merangkumnya. Sebab, seratus menit durasi film ini kurang lebih dihabiskan untuk membahas sembilan bulan kehamilan Ayu.

Jangan bertanya mengapa satu film feature dengan panjang satu jam lebih memilih untuk berkutat dengan satu persoalan. Saya mencoba berspekulasi mengenai kemungkinan akan produksi sekuel berikutnya dari film ini.

Saya memahami apa yang berusaha dicapai oleh #TemanTapiMenikah 2. Film ini mencoba memberi gambaran natural tentang apa yang akan dihadapi oleh pasangan yang baru menikah. Sesuatu yang bisa menyentuh banyak orang lain karena mereka akan atau bahkan telah mengalami lika-liku yang sama dengan yang dihadapi oleh Ditto dan Ayu.

Namun, sebagai sebuah film feature, film ini sangat minim substansi. Kerangka ceritanya disusun dengan sangat lepas, dan nyaris tak menggambarkan alur atau perkembangan cerita.

Menyaksikan film ini terasa seperti menonton salah satu episode dari serial drama atau televisi. Terlalu sedikit materi cerita di dalamnya yang membuatnya bisa terasa signifikan.

Film ini menjadi terkesan seperti apa yang terjadi ketika buku harian Ayu yang ia tulis saat ia hamil diangkat menjadi film. Dalam #TemanTapiMenikah 2, Ditto dan Ayu kembali berputar-putar pada masalah yang sama tentang pasang surut emosi Ayu yang ia alami karena kehamilannya.

Entah mengapa, premis ini justru membuat saya kesulitan untuk bersimpati dengan kedua karakter ini. Mereka digambarkan sebagai orang tua yang merasa kewalahan dengan realitas baru yang mereka hadapi. Sekilas keresahan ini terdengar jujur dan sangat masuk akal. Siapa sih, yang tak akan gugup saat menanti kelahiran anak pertama mereka?

Tetapi, karakterisasi #TemanTapiMenikah 2 membuat keduanya seakan lebih peduli tentang berbagai kesempatan yang mereka lewatkan karena kehadiran anak pertama itu, dibandingkan dengan persiapan mereka sendiri untuk menjadi orang tua. Pesan yang coba ditekankan dari film ini seakan lebih tentang betapa problematiknya memiliki anak, dibandingkan esensi dari menjadi orang tua itu sendiri.

Saya juga berharap bahwa setelah hampir separuh film berjalan, akan ada jenis konflik baru yang muncul dalam cerita. Tetapi, nyatanya, film ini secara konsisten menempatkan Ayu semacam pada posisi antagonis dalam ceritanya sendiri. Tidak ada pengembangan karakter signifikan yang bisa ditemukan hingga film ini mencapai bagian akhirnya.

Babak demi babak dalam film ditampilkan dengan menggunakan formula yang sama. Ayu, yang lebih emosional dari biasanya karena “hormon” ibu hamil, menjadi kesal pada Ditto karena suatu hal, Ditto lalu meminta maaf, dan keduanya kembali bertukar candaan romantis. Mulai dari awal kehamilan Ayu hingga di momen ia melahirkan bayinya, formula ini hanya diulang dalam konteks yang berbeda.

Menarik juga untuk membahas tentang konteks sosial yang tersirat dalam #TemanTapiMenikah 2. Seperti yang telah saya sebutkan, film ini mungkin berusaha menggambarkan bahwa keresahan menjadi orang tua merupakan masalah universal yang dialami oleh banyak orang.

Tetapi, melihat cara Ayu bersikeras untuk melahirkan di Bali, di tangan seorang bidan yang mendapatkan pendidikan dari “Amrik”, ataupun Ditto yang menyewakan istrinya sebuah villa dengan pemandangan eksotis, #TemanTapiMenikah 2 menjadi tak efektif untuk menyentuh penonton secara universal.

Konteks sosial yang digunakan membuat film ini terasa lebih seperti kisah escapism yang memang dimaksudkan sebagai sebuah hiburan, dan bukan representasi yang bisa mencakup banyak kalangan.

Bagaimanapun, daya pikat #TemanTapiMenikah 2 bisa jadi memang berada pada kejujuran dari kisahnya. Mengamati setiap dialog para tokohnya secara detail, kita bisa membayangkan kata-kata yang sama memang diucapkan oleh Ditto dan Ayu asli di kehidupan nyata.

Saya secara personal menyukai klimaks film yang menampilkan momen saat Ditto mencoba menegarkan Ayu pada proses kelahiran putra mereka. Ia dengan spontan duduk di belakang Ayu dan nampak seakan ikut merasakan perjuangan Ayu melahirkan sang anak. Lucu dan menyentuh di saat yang bersamaan!

Jika Ditto sebelumnya menggambarkan hubungannya dan Ayu dengan ungkapan “teman rasa pacar”, maka #TemanTapiMenikah 2, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mungkin bisa digambarkan sebagai film bernuansa vlog.

 

Kesimpulan

Terinspirasi dari kisah pasangan public figure Ditto Percussion dan Ayudia Bing Slamet, #TemanTapiMenikah 2 melanjutkan film pertamanya yang kali ini menceritakan kehidupan Ayu dan Ditto setelah mereka menikah. Terbatasnya isu yang dibahas menjadikan #TemanTapiMenikah 2 terasa kurang substansial untuk menjadi sebuah film tunggal. Namun, gaya natural yang ditampilkan dalam dialog dan akting para pemeran film ini memberi kesan yang jujur dan personal, serupa dengan vlog atau adaptasi audio visual dari sebuah buku harian.

 

Note: Gulir/scroll ke bawah untuk melihat rating penilaian film.

Loading...

Review Film #TemanTapiMenikah 2 – Komedi Romansa tentang Beragam Liku di Awal Pernikahan
7Overall Score
Reader Rating 0 Votes
0.0