Selama masa pandemi, Netflix memang sangat gencar mengeluarkan film yang dilabeli “original” di dalam layanan streaming miliknya. Beberapa tentunya berhasil dalam memberikan apa yang dijanjikannya, seperti Time to HuntExtraction dan The Lovebirds. Mereka menghibur. Dan The Last Days of American Crime tidak. Sungguh mengecawakan, sebenarnya.

Melihat deskripsinya saat membuka aplikasi Netflix, saya sebetulnya tertarik. Mengingatkan saya dengan film Minority Report yang disutradarai oleh Steven Spielberg, The Last Days of American Crime menceritakan mengenai Amerika Serikat yang mengusung peraturan baru untuk meminimalisir kriminalitas dalam negaranya lewat sebuah alat canggih.

Saya mengira film ini akan mengusung dunia sci-fi, karena deskripsi yang dimilikinya. Tetapi tidak, latar film bertempatan pada masa depan yang tidak jauh dari sekarang di Amerika Serikat. Mungkin itu salah satu alasan mengapa dunia pada film ini begitu tidak menarik, karena tidak bisa menopang konsep mewah yang dimilikinya.

Loading...

Sebuah mesin canggih yang digunakan oleh pemerintah berupa sinyal yang secara otomatis dapat menghentikan pergerakan setiap penduduknya saat mereka sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Mereka akan merasakan pusing dan penat yang luar biasa di dalam kepala mereka, sehingga mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi.

Dalam dunia ini, ada Graham Bricke (Édgar Ramírez) yang akan menjadi tokoh utama kita. Kita tidak diceritakan masa lalunya bagaimana atau pekerjaannya apa, tetapi kita langsung saja diterobos dengan karakternya yang saat pertama kali kita lihat sedang menyiksa dan menginterogasi seseorang di sebuah bak mandi.

Ini masalah yang saya temui secara terus-menerus di film yang disutradarai oleh Olivier Megaton ini. Meski durasinya yang sangat panjang — melebihi yang sepantasnya — film ini tidak pernah berhenti sejenak untuk memperkenalkan setiap karakternya dengan tepat. Mereka selalu saja langsung masuk ke dalam cerita dan berkonfrontasi dengan Bricke, dan saya selalu kebingungan melihat siapa lagi yang muncul.

Mesin canggih itu akan dioperasikan dalam jangkauan nasional dalam beberapa hari lagi, sehingga Amerika Serikat sedang dilanda kericuhan. Protes di mana-mana. Di satu pihak, ada yang menentang mesin itu karena dianggap merampas kebebasan setiap warganya. Di pihak lainnya menganggap mesin itu akan memastikan keamanan negara.

Tidak hanya Amerika yang sedang kacau, begitu juga Bricke yang baru mengetahui kalau adiknya yang sedang di penjara meninggal. Ia tiba-tiba didatangi sosok misterius bernama Kevin (Michael Pitt) yang mengatakan kalau ia mengenal adiknya dan mengajak Bricke untuk merampok uang pemerintah pada hari terakhir Amerika sebelum mesin canggih itu aktif, untuk balas dendam kepada pemerintah yang telah membiarkan adiknya kehilangan nyawa.

Saya tidak hanya mempermasalahkan mengenai pengenalan karakternya, namun juga tingkah laku dan dialog yang sangat tidak manusia. Sebelum Kevin muncul, tunangannya lebih dulu mendatangi Bricke. Shelby Dupree (Anna Brewster) menghampiri Bricke, berbicara beberapa kalimat yang membingungkan, kemudian mereka bercinta di kamar mandi. Jika kedengarannya tidak masuk akal, itu memang benar.

Dialog yang dimiliki film ini juga sangat bermasalah. Tidak jarang percakapan juga terasa sangat membingungkan dan tidak menarik. “Kau percaya dia?” Kevin bertanya. “Siapa?” Bricke balas bertanya. “Menurutmu siapa?” Kevin lagi balas bertanya. Dan Bricke, bukannya kembali bertanya atau menjawab, malah membuka topik “Jadi, kau dan ayahmu akur?” Saya bahkan tidak tahu bagaimana seharusnya percakapan itu berjalan.

Jika dialog yang buruk tetapi karakternya masih terasa hidup, saya mungkin masih bisa memaafkan. Tetapi setiap karakter di sini hanya terasa satu dimensi saja, tidak bisa menawarkan apa-apa selain berteriak dan memaki-maki. Saya selalu berpikir kalau hanya berteriak saja bukan berarti menunjukkan emosi, dan itu dibuktikan dengan setiap karakter di sini dengan gaya masing-masing yang berbeda namun terasa sama datarnya.

Tidak hanya dialog dan karakternya yang membuat seluruh film terasa sangat kikuk, tetapi juga dengan bagaimana editing film ini berjalan. Bahkan di saat yang seharusnya seru seperti adegan tembak-tembakan, film ini bisa saja membuatnya sangat tidak menarik dan tidak menegangkan sedikitpun. Saya pun berusaha untuk mencari titik seru, dan usaha saya sia-sia.

The Last Days of American Crime tidak hanya gagal dalam menceritakan cerita utamanya, namun juga dengan beraninya menambahkan beberapa cerita sampingan yang malah menambah kebingungan saya. Salah satunya yang sangat tidak saya anggap penting adalah cerita seorang polisi William Sawyer (Sharlto Copley) yang entah bagaimana terasa dipaksakan dan malah membuat durasi film membengkak.

Film ini juga berani untuk dirilis di tengah situasi Amerika Serikat saat ini yang sedang gempar karena kasus brutalisme polisi, karena film ini juga mengusung tema itu. Di sini, polisi mendapati implan yang dapat memblokir sinyal mesin itu, sehingga mereka dapat melakukan kekerasan terhadap warganya. Saya tidak mengatakan kalau keputusannya untuk merilis film ini sekarang tepat, tetapi saya mengatakan kalau mereka berani.

The Last Days of American Crime gagal dalam segala aspek dan tidak sekalipun terlihat berusaha untuk membangkitkan konsep yang sangat menarik itu. Film ini juga mampu membuat adegan bercinta — tidak hanya satu namun dua kali — terlihat sangat tidak menggairahkan. Setidaknya lagi beberapa hari lagi film besutan Spike Lee Da 5 Bloods dirilis di Netflix juga.

Loading...

Review Film The Last Days of American Crime (Netflix, 2020) - Tumpul, Tidak Logis, dan Membingungkan
3Overall Score
Reader Rating 0 Votes
0.0