Awal 2020 menyajikan pada kita sejumlah pilihan yang cukup bervariasi dalam jajaran film bergenre horor. Mulai dari Gretel & Hansel yang memuat tema fantasi, The Grudge yang dikemas dalam misteri, hingga The Turning yang mengusung konsep supernatural.

Salah satu yang tak boleh dilewatkan adalah The Lodge, film yang memadukan horor dan thriller psikologis sebagai genrenya. The Lodge sejatinya dijadwalkan untuk tayang pada November 2019 lalu. Namun, Neon sebagai perusahaan distributor film ini, menundanya hingga menjadi awal 2020.

The Lodge diluncurkan pertama kali di Festival Film Sundance pada 25 Januari. Film berdurasi 108 menit ini akhirnya dirilis secara luas pada 7 Februari lalu.

Loading...

Film ini kembali mempertemukan duo sutradara Austria, Veronika Franz dan Severin Fiala, dalam kolaborasi pembuatan film horor. Sebelumnya, mereka telah bekerjasama dalam penyutradaraan film berbahasa Jerman, Goodnight Mommy (2014), yang merupakan produksi Austria.

Franz dan Fiala juga mengubah sejumlah hal esensial dalam naskah The Lodge yang ide orisinalnya ditulis oleh penulis asal Skotlandia, Sergio Casci.

Dengan konsep cerita yang diangkat, The Lodge relatif menjadi film yang ramping dari segi jajaran pemeran yang terlibat di dalamnya. Film ini dibintangi oleh Riley Keough, Jaeden Martell, Lia McHugh, Alicia Silverstone, serta Richard Armitage.

 

Sinopsis

Kakak beradik Aidan dan Mia Hall begitu terpukul setelah kematian tak terduga sang ibu. Enam bulan kemudian, Richard, ayah mereka berencana untuk menikahi wanita lain bernama Grace. Ia berharap dapat lebih mendekatkan kedua anaknya dan Grace dengan menyusun sebuah rencana liburan bersama.

Keempatnya lalu pergi untuk menghabiskan liburan musim dingin di pondok pribadi yang terletak di pegunungan terpencil. Tetapi, saat Richard harus kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan kerja, sejumlah hal aneh mulai terjadi di pondok itu. Anehnya, berbagai kengerian ini memiliki kaitan dengan peristiwa kelam di masa lalu Grace.

 

Review

The Lodge membuka tahun 2020 dengan prospek menjanjikan yang telah ditunjukkan oleh gemilangnya kolaborasi Franz dan Fiala dalam Goodnight Mommy. Serupa dengan film mereka sebelumnya itu, The Lodge pun menuturkan kisah misteri yang masih berkelindan dengan problema dalam keluarga, tepatnya hubungan antara orang tua dan anak.

Film ini diselimuti dengan nuansa kekosongan yang dingin dan sepi bahkan sejak bagian awal. Dengan diiringi lagu “Nearer, My God, To Thee”, dua kakak beradik Hall melepaskan balon berwarna hitam ke angkasa pada prosesi pemakaman ibu mereka. Kematian sosok yang amat mereka sayangi itu amat mendadak. Belum reda duka mereka, enam bulan kemudian, ayah mereka memohon keduanya untuk mulai belajar menerima calon ibu tiri mereka.

Aidan dan Mia tahu ada sesuatu yang salah dengan wanita itu. Grace, yang diperankan oleh Riley Keough, nyatanya memang punya masa lalu kelam. Ia menjadi satu-satunya penyintas dari kasus bunuh diri massal dalam sebuah sekte Katolik sesat yang dipimpin oleh ayahnya.

Sebagian besar latar belakang Grace masih berupa tanda tanya besar. Tetapi, Grace lalu meminta untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak Hall selama liburan musim dingin di sebuah (tentu saja) pondok terpencil.

Dengan prediksi terjadinya badai yang akan mengunci mereka di sana, serta sang ayah yang (tentu saja) harus pergi meninggalkan kedua anaknya bersama sang wanita misterius, latar cerita ini secara gamblang menampilkan fungsinya sebagai plot device bagi kisah horor bertema cabin fever.

Cabin fever memang menjadi salah satu tema yang punya banyak potensi untuk digunakan sebagai backbone film horor. Tema ini punya kekuatan dalam menghadirkan kengerian psikis berupa sensasi klaustrofobia. Stanley Kubrick dalam film horor klasik karyanya, The Shining (1980), telah membuktikan bahwa perasaan terisolasi dari dunia luar adalah jenis emosi yang punya kaitan dengan rasa takut.

The Lodge tahu betul mengenai potensi ini dan memanfaatkannya dengan optimal. Latar dan pemerannya yang minimalis membuat permainan menebak-nebak siapa monster sesungguhnya menjadi kian menegangkan. Franz dan Fiala juga nampaknya mengambil sejumlah inspirasi dari gaya sinematik Ari Aster dalam meramu film horor-psikologis.

Dalam praktiknya, mengusik sisi psikis dalam diri penonton jelas bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, departemen teknis The Lodge nyatanya berhasil merealisasikan visi Franz dan Fiala dengan brilian. Mereka menciptakan kombinasi latar visual dan audio yang artistik sekaligus immersive.

Sinematografer Thimios Bakatakis memaksimalkan sensasi klaustrofobia lewat berbagai long shot setiap kali ia memperoleh kesempatan untuk menyorot lingkungan luar ruang di sekitar pondok. Tona pucat yang menggelayuti langit dan padang salju luas tanpa batas memberi kesan ketidakberdayaan para penghuni pondok untuk menyelamatkan diri jika sampai sesuatu yang buruk menimpa mereka.

Shot favorit saya di The Lodge adalah saat Grace berjalan di tengah badai salju untuk mencari bantuan. Namun, yang ia temukan justru rumah kayu di mana dari balik jendelanya, wajah sang ayah yang telah meninggal menatap balik ke Grace. Sosok Grace yang membelakangi kamera dan rumah kayu aneh itu nampak kontras di tengah hamparan salju putih.

Di sisi lain, desain musik latar The Lodge pun menambahkan nuansa mencekam di dalamnya. Saya merasa cukup ngeri setiap kali mendengar lagu “Nearer, My God, to Thee” dinyanyikan dengan cara yang janggal di beberapa bagian film. Ini serupa dengan cara The Nightingale (2018) membuat lagu tradisional Irlandia “Siúil a Rún” menjadi terdengar jauh lebih seram dibanding aslinya.

Bagaimanapun, kredit terbesar sepatutnya diberikan pada Riley Keough. Film ini bukanlah kali pertama Keough berhasil memerankan sosok wanita misterius. Dalam Welcome the Stranger (2018), ia memainkan karakter kekasih yang aneh dari kakak sang tokoh utama. Ia juga menjadi gadis penuh teka-teki dalam film Under the Silver Lake (2018).

Keough mahir dalam menampilkan wajah tanpa ekspresi. Ia tak membiarkan penonton untuk bisa mengetahui motivasi sebenarnya dari karakter yang ia perankan. Ketiadaan emosi ini membuat twist dalam The Lodge, yang menjadi bagian paling jenius dalam film ini, tetap terjaga dengan baik hingga akhir film.

 

Kesimpulan

The Lodge adalah film horor-psikologis yang mencoba mengolah isu dinamika keluarga dalam sebuah misteri bertema cabin fever. Tema ini dieksekusi dengan optimal oleh duo sutradara Veronika Franz dan Severin Fiala yang sebelumnya juga telah berkolaborasi dalam produksi film horor Goodnight Mommy.

The Lodge menghadirkan sensasi klaustrofobia yang mencekam lewat rangkaian shot-nya yang immersive, yang lalu kian diaksentuasi oleh musik latar dalam film. Keough berhasil mewujudkan karakter utama misterius yang menjaga twist utama sulit untuk ditebak oleh penonton lewat penampilan aktingnya yang hampa ekspresi.

 

Note: Gulir/scroll ke bawah untuk melihat rating penilaian film.

Loading...

Review Film The Lodge (2019) – Petaka Cabin Fever yang Hadirkan Kengerian Secara Psikis
8Overall Score
Reader Rating 2 Votes
5.8