“Dalam Perang Saudara, 186.000 kulit hitam ikut dinas militer, kami dijanjikan kebebasan dan tak mendapatkannya. Dalam PD II, 850.000 kulit hitam bertempur, dan dijanjikan kebebasan, dan kami tak dapat. Kini, dengan Perang Vietnam, masih tak dapat apa pun, selain kebrutalan polisi, dan lainnya.”

Bobby Seale, seorang aktivis Amerika yang juga adalah penemu organisasi Black Panther Party, mengucapkan itu pada tahun 1968 dan muncul pada pembukaan Da 5 Bloods yang memperlihatkan sekumpulan video dari masa lalu yang memperlihatkan beberapa tokoh penting dalam menegakkan keadilan untuk kulit hitam berbicara mengenai sejarah yang cukup panjang tentang warga kulit hitam yang terus terlibat dalam perang.

Black Lives Matters, sesuatu yang sering kita dengar saat ini, adalah sebuah pergerakkan yang mengumandangkan penegakan terhadap keadilan bagi warga berkulit hitam. Kita menyadari mereka masih belum mendapatkan keadilan itu, Amerika Serikat juga menyadari, dan Spike Lee juga menyadari hal itu. Film-film yang ia buat, dari Malcolm X hingga BlacKkKlansman (salah satu film terbaik 2018, menurut saya) adalah sebuah karya yang penting mengenai kehidupan orang berkulit hitam.

Loading...

Dengan film terbarunya yang dirilis di Netflix, Spike Lee berkesempatan untuk menjejalkan keahlian membuat filmnya dengan tema Perang Vietnam. Ini memang adalah film perang, tetapi menariknya ia tidak fokus dengan perangnya itu melainkan kita sebagai penonton lebih dipusatkan dengan setiap karakternya, dan itu yang membuat Da 5 Bloods menjadi terasa lebih intim dan lebih personal.

Dalam film ini, kita tidaklah diceritakan saat Perang Vietnam berlangsung, melainkan waktu film bertempatan dengan zaman sekarang di mana sekelompok mantan tentara Amerika Serikat sedang bereuni di Vietnam. Keempatnya bertemu untuk menemukan kembali harta karun yang pernah mereka sembunyikan sekaligus mencari jenazah pemimpin regu mereka yang lebih dulu kehilangan nyawanya saat perang berlangsung.

Paul (Delroy Lindo), Otis (Clarke Peters), Eddie (Norm Lewis) dan Melvin (Isiah Whitlock Jr.), keempat prajurit yang sudah tua itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun berkumpul lagi. Mereka masih akur, mereka masih hafal dengan salam tangan khas mereka yang sangat panjang, dan mereka masih memanggil satu dengan yang lainnya dengan sebutan “Blood” yang berarti satu darah.

Kembali ke Vietnam berarti mereka harus kembali mengingat apa yang sudah mereka lalui di tanah asing ini. Mereka tidak hanya berusaha menggali harta karun yang terkubur, mereka juga sedang menggali masa lalu mereka. Dan dari keempat prajurit ini, Paul — yang mengenakan topi “Make America Great Again” dan ditemani oleh anaknya, David (Jonathan Majors) — adalah karakter terbaiknya.

Delroy Lindo bisa saya katakan telah memberikan salah satu akting paling gemilang yang pernah saya tonton pada tahun ini. Kepribadian Paul yang selalu dihantui dengan kematian Norman (Chadwick Boseman), pemimpin regu mereka, membuat dirinya menjadi paranoid dan mengidap dengan PTSD (Posttraumatic stress disorder). Di sini, ia memainkan Paul dengan penuh ledakan dan dahsyat namun juga menyisipi sisi emosional di tengah-tengahnya.

Salah satu adegan pada pengujung film, di mana dirinya memberikan sebuah monolog kepada para penonton secara langsung dan menghancurkan dinding keempat (fourth wall), mungkin saja adalah salah satu bagian yang terus terngiang di kepala jauh setelah film usai. Bagaimana dia menyatakan bahwa dirinya yang akan menentukan nasibnya, bukan perang ataupun pemerintah dan menutup dengan mengepalkan tangan ke atas udara sembari kamera secara perlahan menunjukkan sebuah kepalan tangan.

Norman adalah salah satu penyebab mengapa Paul menjadi kepribadian yang terganggu. Saat masih di Perang Vietnam, dirinya tidak hanya menjadi pemimpin regu untuk keempat prajurit ini tetapi juga sebagai panutan hidup. “Dia seperti Malcolm (X) dan Martin (Luther King Jr.) untuk kami,” kenang Otis. Namun Paul menganggap Norman lebih dari itu. Ia sudah menganggap Norman sebagai sebuah religi, sehingga kematiannya sangat mengganggu dirinya bahkan jauh setelah perang selesai.

Melihat keempat menganggap Norman sebagai panutan memang sungguh menyayat hati. Dari semua sosok yang pernah mereka temui dalam hidup mereka, adalah seorang pemimpin regu prajurit yang memberi mereka pelajaran mengenai sejarah kulit hitam yang saat itu belum populer. Dari sebuah perang, mereka baru menemui seseorang yang “Memberi mereka hal untuk diyakini. Sebuah arah. Sebuah tujuan,” Otis mengucapkan.

Dalam film ini pula Spike Lee secara halus mencoba mengkritik bagaimana Hollywood membuat film perang lewat dialog dari karakternya. “Para orang Hollywood aneh mencoba memenangkan Perang Vietnam,” Eddie mengatakan saat mereka sedang membicarakan film Rambo, merujuk dengan fakta bahwa Amerika sebetulnya kalah dalam perang itu. Apa yang Otis balas selanjutnya juga menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati.

“Ya, aku akan mengantre pertama jika ada film soal pahlawan sejati, seperti salah satu kawan kita, Milton Olive.” Milton Lee Olive adalah seorang tentara muda berkulit hitam yang tewas dengan mengorbankan diri melindungi kawan-kawannya dari sebuah granat, dan umurnya barulah 18 tahun. Hollywood memang gemar membuat seseorang yang berkulit putih dibuat berjaya sementara jarang mengapresiasi pahlawan nyata yang berkulit hitam, dan ini adalah salah satu kritik dalam Da 5 Bloods.

Jika film ini dirasa membuat penonton tidak nyaman, maka memang itulah tujuannya. Dengan menggunakan foto dan rekaman asli dari Perang Vietnam yang memperlihatkan mayat bergelimpangan (bahkan wanita dan anak-anak) hingga sebuah video eksekusi, Spike Lee ingin mengingatkan mengenai betapa buruknya sebuah perang. Ini juga dapat dijadikan sebagai film anti-perang, dengan pesannya yang sangat jelas terlintang pada setiap adegan.

Penggunaan foto asli memang menjadi sesuatu yang menarik dari film ini. Setiap karakternya menyebut seseorang yang berkulit hitam, dari prajurit Milton Olive hingga penyanyi Aretha Franklin, sebuah foto asli mereka muncul dengan ukuran penuh dalam layar, yang mengingatkan kepada kita kalau orang-orang yang mereka sebutkan itu adalah orang nyata, bukanlah rekayasa atau orang buatan.

Tidak hanya dari segi cerita film ini sangat berhasil, namun juga dari segi teknis film ini juga secara mengejutkan menonjol. Dengan durasi yang mencapai 150 menit, Da 5 Bloods menceritakan kisahnya dengan melompat-lompat, mengunjungi masa lalu dan masa kini. Newton Thomas Sigel yang sebagai sinematografer dengan cerdiknya memainkan aspect ratio saat waktu berganti. Jika masa lalu, aspect ratio menjadi kotak sementara jika masa kini menjadi lebar.

Dengan film ini, Spike Lee telah membuat sebuah karya yang mungkin saja sedang dibutuhkan dunia ini. Di saat di mana kontroversi mengenai keadilan warga kulit hitam sedang menggema di seluruh dunia, Da 5 Bloods adalah sebuah film yang sangat kuat dengan pesan yang sangat mendalam, dan secara pasti adalah salah satu film terbaiknya. Dengan film inilah ia mengatakan kalau nyawa kulit hitam itu berarti.

Loading...

Review Film Da 5 Bloods (Netflix, 2020) - Menggali Masa Lalu di Vietnam
9Overall Score
Reader Rating 1 Vote
8.5