Kuntilanak! Istilah jenis hantu yang dikenal berwujud peremupan berambut panjang dengan baju (atau daster) putih kebesaran dengan tawa mengikik yang khas menjadi salah satu primadona dalam industri perfilman Indonesia. Setelah mendiang legenda horror Indonesia, Suzzanna sebenarnya sudah dibuat berbagai film yang menampilkan karakter ini.

Beberapa di antaranya adalah film trilogi Kuntilanak dengan bintang utama Julie Estelle serta dwilogi Kuntilanak dengan Sandrinna Michelle Skornicki sebagai pemeran utama. Kini, film-film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani tersebut berusaha disatukan dalam sebuah universe berkat kerja keras dari Multivision Pictures memakai naskah karya Dirmawan Hatta dan Erwanto Aphadullah serta disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis.

Film yang disebut sebagai origins atau kisah awal mula Kuntilanak ini mengambil judul Mangkujiwo dan akan ditayangkan di seluruh bioskop Indonesia mulai tanggal 30 Januari 2020.

Loading...

film Mangkujiwo

Sinopsis

Kanti (Asmara Abigail) seorang gadis muda yang tengah hamil dianggap mengalami gangguan jiwa dan dipasung oleh penduduk desa tempatnya tinggal, terutama oleh pengaruh tetua desa, Tjokro Kusumo (Roy Marten). Karena kerap dianggap pembawa sial, seorang tetua dari desa lain bernama Brotoseno (Sujiwo Tejo) yang bermusuhan dengan Tjokro pun menawarkan diri untuk menampung dan merawat Kanti dengan lebih beradab.

Secercah harapan terbit di hati Kanti saat dibawa oleh Broto ke kediamannya. Namun malang, hal yang sama juga tetap diterima Kanti. Ia kembali di pasung dan malah menjadi objek ritual misterius dengan melibatkan sebuah cermin etnik yang dilakukan Broto. 20 tahun kemudian, anak Broto yang bernama Uma (Yasamin Jasem) mengalami banyak kesialan dan kejadian aneh. Sebuah konsekuensi dari ritual yang dulu dilakukan Broto pun mulai muncul satu persatu dan mengancam nyawa Uma.

film Mangkujiwo

Ulasan

Sutradara Azhar Kinoi Lubis yang akrab disapa Kinoi saja ini adalah salah satu sutradara underappreciated di Indonesia. Kehandalannya dalam mengarahkan film horor sempat banyak dipuji lewat film Kafir, namun meraih cacian dalam film Ikut Aku Ke Neraka. Padahal kedua film tersebut memiliki kualitas nyaris setara secara teknis, walau agak berbeda dalam kualitas naskahnya.

Kini dengan mengandalkan naskah dari penulis kawakan Dirmawan Hatta (King, May) yang dibantu rekan menulis lewat karya debut film panjangnya, Erwanto Alphadullah, Kinoi seakan membuktikan kapasitasnya sebagai salah satu sutradara terbaik di Indonesia.

Plot di dalam naskah film bergulir mulus dengan penulisan yang hati-hati. Menggunakan gaya dua timeline yang berjalan secara paralel di tahun 1950-an dan akhir 1960-an, naskah mengalir dengan baik walau awalnya sedikit tersendat dan cukup membingungkan.

film Mangkujiwo

Eksekusi naskah film ini dirangkai sedemikian cerdiknya oleh Kinoi dalam membangun misteri apa yang akan terjadi pada Kanti dan Uma, dua karakter dalam dua timeline film yang memegang rahasia penting dan terungkap perlahan demi perlahan seiring durasi. Memang ada sedikit potensi membuat penonton awam merasa film berjalan lamban, tapi rentetan adegan teror dan gore rasa-rasanya akan cukup membuat penonton betah memelototi layar.

Gambar cantik dan permainan cahaya menawan dari sinematografer Roy Lolang (Ada Apa Dengan Cinta?, Quickie Express) memberikan nilai lebih dalam menggambarkan ritual-ritual yang dilakukan oleh karakter Brotoseno. Tata artistik yang ditangani T. Moty D. Setyanto (The Raid, Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur) juga berperan besar dalam menggabungkan sisi etnik dan mistis menjadi satu.

film Mangkujiwo

Latar belakang budaya jawa yang kental dalam film terasa membantu aura mistis film, apalagi diperankan oleh seorang seniman yang lekat dengan budaya Jawa dalam sosok Sudjiwo Tedjo (Telegram, Janji Joni). Tejo menjadikan karakternya Brotoseno sebagai kanal untuk ekspresi seninya yang nyentrik di tengah aura mistis filmnya.

Interaksinya bersama Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, Nay) sebagai Nyi Kenanga orang kepercayaan Tjokro cukup cair dan terlihat believeable sebagai dua orang yang memahami dan mempercayai kekuatan gaib. Djenar tampil tenang dan anggun tanpa memperlihatkan kepanikan dan keraguan dalam dirinya di keseluruhan durasi film.

Sementara aktris muda Yasamin Jasem (Bangkit!, Melodi) yang didapuk sebagai salah satu pemeran utama bermain cukup baik, meskipun terasa repetitif dikala mengalami kejadian-kejadian aneh saat ia tidak sadar. Latar akhir tahun 1960-an yang menjadi timeline miliknya terasa kurang jelas karena barisan dialog yang ia lontarkan juga pakaian yang ia kenakan yang kelewat modern. Entah pada sisi kritik ini penulis sampaikan, pada Yasamin yang kurang peka pada karakter dan timeline-nya atau pada penulis naskah yang membuat dialog serta tim wardrobe yang lalai.

film Mangkujiwo

Untuk Asmara Abigail (Perempuan Tanah Jahanam, Move On Aja), meskipun sebagai pemeran utama tetapi tidak mampu menunjukkan keseluruhan kualitas aktingnya karena terasa repetitif sesuai tuntutan naskah. Adegan klimaks film adalah dimana Asmara menunjukkan kualitas dan ciri khasnya yang menjadi kekuatan aktingnya.

Sementara peran pendukung yang dijalani oleh Roy Marten (Pretty Boys, Kabut Sutra Ungu), Karina Suwandi (Kuntilanak 2, Imperfect) dan Samuel Rizal (Eiffel I’m In Love) terbilang cukup baik meskipun dengan jatah tampil yang minim. Septian Dwi Cahyo (Lupus, Sara & Fei: Stadhuis Schandaal) menjadi aktor pendukung yang mencuri perhatian dalam perannya sebagai Sadi asisten Broto yang bungkuk dan bisu. Pengalaman Septian sebagai seorang pantomim terlihat jelas dalam film ini.

Film Mangkujiwo merupakan wujud ambisi dari rumah produksi MVP untuk menciptakan universe horor dengan menceritakan kisah asal mula dan lahirnya Kuntilanak yang menjadi sentral karakter pada dua franchise film Kuntilanak versi Julie Estelle dan Sandrinna Michelle Skornicki. Dengan mengaitkan karakter Karmila dari Kuntilanak 2 dan properti cermin etnik pada trilogi Kuntilanak Julie Estelle, dapat dipastikan bahwa Kuntilanak Universe ini akan berlanjut dengan film Kuntilanak lainnya.

film Mangkujiwo

 Kesimpulan Akhir

Mangkujiwo tidak menawarkan horor yang menakut-nakuti setiap menit lewat jumpscarenya, tetapi membangun rasa takut penonton lewat atmosfer mistis, misteri cerita, adegan-adegan gore dan menjijikan saat melakukan ritual. Film mengalir perlahan sampai ke puncaknya yang membuahkan hasil memuaskan dari kesabaran penonton menunggu kisah sang legenda hantu Kuntilanak yang lahir lewat film Mangkujiwo.

Mangkujiwo adalah sebuah jahitan cerita yang  bagus dalam menggabungkan dua franchise film Kuntilanak yang membuat film-film dari Kuntilanak Universe lainnya akan sangat penulis nantikan kehadirannya.

Note: Scroll/gulir ke bawah untuk melihat rating penilaian film.

Loading...

Review Film Mangkujiwo (2020) – Kisah Origin Kuntilanak Yang Penuh Misteri Dan Cerdik Dalam Bercerita
7.5Overall Score
Reader Rating 3 Votes
6.7