Ada waktu di mana setiap mendengar nama Dakota Johnson, saya selalu teringat film erotisnya Fifty Shades of Grey. Buruk. Tetapi, tahun 2018 ia membintangi salah satu film thriller favorit saya, Bad Times at the El Royale dan saya mulai mengapresiasi dirinya. Kemudian tahun lalu ia membintangi The Peanut Butter Falcon, salah satu film indie terbaik tahun lalu yang juga sangat saya gemari.

Sekarang dia kembali bermain di The High Note, film komedi romansa musikal yang disutradarai Nisha Ganatra. Film ini memang tidak sebaik dua film yang saya sebutkan sebelumnya, tetapi Dakota masih bisa menunjukkan bakatnya yang memang menarik untuk dilihat di ranah tiga genre itu. Keberadaannya mampu mengangkat cerita film yang terkesan sangat sering terpakai.

review film the high note

Loading...

Film komedi romansa musikal memang cukup sulit, karena biasanya cerita yang dipakai sama saja. Di sini, Dakota Johnson berperan sebagai Margareth atau yang sering dipanggil “Maggie”. Maggie adalah seorang asisten untuk seorang penyanyi diva Grace Davis (Tracee Ellis Ross). Memang impiannya Maggie untuk bekerja dengan Grace, namun rupanya ia masih memiliki satu impian lagi. Menjadi produser musik.

Dari pagi hingga malam Maggie selalu mengurus Grace, entah itu untuk menjemputnya; mengambil pakaian dari tempat laundry; atau hanya sekedar menemani selama sehari-harinya. Grace adalah tipikal orang sukses yang sering kita lihat di film-film di mana dirinya selalu dipenuhi dengan kehidupan yang glamor, dan jarang memerhatikan Maggie secara personal. “Aku tidak ada di sini untukmu, kamu yang ada di sini untuk aku,” Grace mengatakan kepada Maggie.

Mereka mengingatkan saya dengan film The Devil Wears Prada, di mana kedua film sama-sama menceritakan rumitnya hubungan antara seorang diva dan asistennya. Cerita keduanya juga mirip, jika diperhatikan. Perbedaannya adalah The High Note adalah film musikal dan romansa. Saat masih mengejar impiannya menjadi seorang produser, Maggie bertemu dengan David (Kelvin Harrison Jr.) yang rupanya juga berimpian menjadi seorang penyanyi.

Dakota Jonhson, lewat karakternya, dapat menampilkan betapa ribetnya kehidupan asisten untuk seorang penyanyi terkenal. Karakter Maggie juga menjadi lebih menarik saat dirinya ingin menjadi produser untuk David, di mana kita melihat bahwa dirinya juga bersungguh-sungguh untuk menggapai cita-cita yang masih jauh dari kenyataan itu.

Kepribadian Grace yang eksentrik memang juga tidak jarang menutupi keberadaan Maggie yang seharusnya menjadi tokoh utama. Tracee Ellis Ross memang bisa secara alami menunjukkan kepribadian Grace yang serba luar biasa, entah itu dari cara bicaranya atau cara bergeraknya. Tidak jarang juga dirinya memantik topik yang cukup berat.

“Dalam sejarah musik, hanya ada lima wanita di atas umur 40 tahun yang musiknya menyentuh nomor satu. Dan hanya satu dari mereka yang berkulit hitam. Satu.” Grace, yang berkulit hitam dan sudah melewati umur 40 tahun, menyadari kalau masa depannya di dunia musik sudah sirna. Kini, meski dirinya masih ingin membuat album baru, ia sudah harus puas tampil dengan musiknya yang sama-sama saja.

Di saat keduanya berada pada satu layar adalah saat-saat terbaiknya The High Note. Hubungan antara keduanya memanglah klise, tetapi kedua karakter itu masih tetap mampu membuat cerita menarik untuk diikuti karena kepribadian keduanya yang sama-sama saling cocok (meski jarang disadari oleh keduanya). Dan karena itulah, jika keduanya berpisah alur cerita melambat.

David, yang seharusnya memiliki peran penting di sini, sangat mudah terlupakan. Memang dirinya sering muncul, namun karakternya yang sangat datar tidak memantik respon apa-apa dari saya. Mungkin itu karena latar belakangnya di mana dirinya memang sudah kaya raya dari awal, sehingga saat ia ingin menjadi seorang penyanyi, kita tidak melihat sisi “perjuangan” dari David, membuat karakternya tidak hidup.

Keberadaan karakter David juga yang membuat film ini menambah genre romansa ke dalamnya dan itu jugalah yang pada akhirnya membuat durasi film mencapai hampir dua jam, durasi yang cukup panjang untuk film yang memiliki nada seringan ini. Memang sepanjang film ada beberapa momen di mana dirasa terlalu panjang, terlalu membuang-buang waktu.

Elemen romansa memang masih tidak menyenangkan, namun kehadiran Dakota Johnson dan Tracee Ellis Ross cukup untuk membuat The High Note menjadi film yang ringan dan menghibur. Klise, tapi cukup mengisi waktu lowong. Apalagi kehadiran Ice Cube sebagai Jack, manajer untuk Grace, juga sering mengundang tawa. Dia memang jarang muncul, tetapi saya selalu mengantisipasi kehadirannya.

 

Loading...

Review Film The High Note (2020) - Mengejar Impian di Rumitnya Dunia Musik
6Overall Score
Reader Rating 0 Votes
0.0